KETIDAK BERTAHANAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT MUNA

KETIDAK BERTAHANAN BUDAYA

LOKAL MASYARAKAT MUNA


LA ODE ALI BASRI
Fakultas Ilmu Budaya  Universitas Halu Oleo Kendari

Abstrak
Penelitian ini didasari oleh suatu fakta bahwa masyarakat Muna banyak memiliki budaya lokal, namun saat ini budaya lokal tersebut sedang mengalami proses menuju kepunahan bahkan sudah ada yang hilang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penyebab ketidak bertahanan budaya lokal masyarakat Muna dan strategi revitalisasinya. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, studi pustaka/dokumen, dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan statistik deskriptif dengan teknik reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidak bertahanan budaya lokal masyarakat Muna disebabkan oleh beberapak faktor yakni; 1)Tidak adanya pewarisan budaya lokal dalam keluarga dan makin berkurangnya tokoh-tokoh tua yang memahami kebudayaan Muna, sehingga berdampak pada minimnya pengetahuan generasi muda terhadap budaya lokalnya; 2) Benturan kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya akulturasi inkorporasi pada kebudayaan lokal Muna; 3) Tidak ada pementasan budaya lokal Muna secara massif.

Kata Kunci:  Ketidak bertahanan, budaya lokal dan etnik Muna

A. Pendahuluan
Nusantara ini dihuni oleh suku-suku bangsa dengan keanekaragaman budayanya masing-masing. Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya tradisional dan kearifan lokal sendiri yang menjadi ciri khas sekaligus keunikkan atau karakteristik masyarakat tersebut. Fakta ini mengamanatkan suatu keharusan agar informasi mengenai keragaman budaya suku-suku bangsa itu dihimpun, dikemas, dan disiarkan sebaik-baiknya sejajar dengan informasi lain yang lebih berancangan praktis dan berkecakupan global. Kebudayaan suku-suku bangsa tersebut harus diberi peluang untuk bertahan hidup, serta mengakomodasikannya di dalam kancah pergaulan nasional bangsa Indonesia.  Kesadaran terhadap budaya lokal karena ikatan kesejarahan masala lalu dan geobudaya telah melahirkan kesadaran bahwa khazanah budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah atau negara pada akhirnya dirasakan juga sebagai milik bersama yang dapat memberikan arti dalam membangun kekayaan keragaman budaya manusia, (Pudentia, 2010).
Olehnya itu, negara harus memposisikan kebudayaan sebagai jati diri bangsa dan tidak menyerahkan pengembangan budaya kepada “mekanisme pasar global”, karena globalisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat telah membuat sebagian besar masyarakat tercerabut dari akar budayanya (Sibarani, 2012).  Sejalan dengan itu, Sediawati (2014) menyatakan bahwa dominasi budaya massa di pasaran industri budaya dan fallacy mengenai budaya global yang diposisikan sebagai pusat orientasi telah mengakibatkan terjadinya disorientasi pada budaya asli  masyarakat Indonesia. Globaslisasi yang bersifat paradoks, impersonal bahkan predator telah banyak menciptakan keterpinggiran budaya lokal (Piliang, 2004).
Adalah benar bahwa globalisasi merupakan tantangan, tetapi juga sekaligus peluang untuk semakin mengembangkan dan mengkreasi  budaya lokal, akan tetapi ketika pergulatan ini dibiarkan begitu saja atau bahkan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan lokal kembali tidak berpihak pada budayanya sendiri, maka tradisi atau budaya masyarakat tersebut akan berada diambang kehancuran. Sebab Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat sudah mulai  mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut (Basri, et al,  2017). Salah satu kebudayaan lokal yang mengalami kondisi ini adalah kebudayaan lokal masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu, kajian ini bermaksud menemukenali akar masalah yang memengaruhi budaya lokal masyarakat Muna, yang saat ini tengah mengarah pada proses ketidak bertahanan.



B. Kajian Pustaka

1. Dampak Globalisasi Terhadap Budaya Lokal
                Dalam konteks kajian ini globalisasi dapat dimaknai laksana pisau bermata dua. Dikatakan demikian karena di satu sisi globalisasi dapat memberangus budaya lokal, tetapi pada sisi lain globalisasi juga memberi peluang kepada budaya lokal untuk mengembangkan, menunjukkan jati diri dan menguatkan identitas kelokalannya. Giddens (2003); Arivia, (2004),  menyatakan bahwa globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan  hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring kehidupan umat manusia ke pola homogenitas kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parokial. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal berupa rusak atau bahkan menghantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Giddens, 2005; Steger, 2006). Globalisasi benar-benar bersifat mondial dalam arti melingkupi semua pihak di pelosok bumi sampai ke  sudut-sudut terpencil dari desa global kita (Piliang, 2004).
                Hal ini sejalan dengan pemikiran Toffler (1990), bahwa globalisasi membawa gaya hidup baru dalam kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, membawah tatanan ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu mengubah kesadaran manusia. Demikian pula dengan Capra (2003), yang berpendapat bahwa, globalisasi telah banyak menimbulkan disintegrasi sosial, kemacetan demokrasi, makin pesat dan luasnya kerusakan lingkungan, penyebaran penyakit-penyakit baru, dan meningkatnya kemiskinan serta keterasingan. Globalisasi sebagai anak panah modernisme telah banyak menggelisahkan umat manusia, menimbulkan krisis ekologi, carut-marut ekonomi, politik global, imperialisme budaya, dan sebagainya.
                Pendapat senada juga dikemukakan oleh Taena dan Hermina (2013) yang menyebutkan bahwa era globalisasi dan informasi telah membuat banyak orang kurang peduli dengan nilai-nilai budaya tradisional. Globalisasi sedikit demi sedikit mengikis nilai-nilai budaya tradisional sampai ke pedalaman. Begitu pula dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara perlahan menenggelamkan budaya tradisional. Kemajuan teknologi informasi berperan aktif dalam mengubah watak dan gaya hidup masyarakat untuk meninggalkan nilai-nilai budayanya.
                Sementara itu, ilmua lain justru memandang dan memosisikan globalisasi sebagai peluang yang mesti dimanfaatkan untuk menyosialisasikan dan memasarkan budaya lokal.  Ritzer (2006) menyatakan bahwa dalam situasi globalisasi yang mondial, masyarakat tradisional tidak harus kehilangan aset produksinya, melainkan didorong untuk memasuki pasar dan mereka akan terus menerus hanyut dalam budaya konsumsi atas produk-produk barang dan jasa yang terus menerus diproduksi. Karena itu, pengaturan mode produksi tidak penting, tetapi yang utama adalah strategi mendorong produk dari masyarakat asli masuk ke dalam pasar global. Mengacu pada pemikiran Ritzer tersebut, maka budaya lokal merupakan salah satu produk masyarakat asli yang bisa direkayasa untuk bisa masuk dan eksis di pasar global. Sebab Ritzer (2006) menyatakan bahwa yang lebih penting adalah  harus mewaspadai secara serius dengan menyikapi dan memanfaatkan efek global secara baik sepanjang pemanfaatan efek global tersebut tidak merusak tatanan dan harmoni sosial masyarakat. Pada sisi yang lain ekspansi budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap budaya lokal dan regional baik karena kesamaan sejarah maupun geobudaya, serta merangsang dinamika dan strategi budaya lokal dalam merespon globalisasi (Nashir, 1999).

2. Pelestarian Budaya Lokal
                Menurut Sediawati (2014) pelestarian budaya pada dasarnya bararti keseluruhan upaya untuk membuat suatu kebudayaan lestari eksistensinya. Dalam pelestarian termasuk upaya-upaya yang berupa perlindungan, pengembangan serta pemanfaatan. Upaya perlindungan mempunyai dua sisi yakni perlindungan terhadap penggunaan yang tidak sah atau tanpa hak, dan perlindungan terhadap kepunahan akibat pembiaran atau tidak adanya upaya perawatan yang tepat. Pengembangan dapat berarti upaya mendorong daya cipta sehingga terciptalah lebih banyak karya dan bahkan ragam-ragam dan jenis penciptaan yang baru. Pengembangan juga dapat berarti perawatan lingkungan dan penyediaan sarana-sarana informasi terhadap budaya lokal. Sedangkan pemanfaatan berarti mendayagunakan produk budaya lokal untuk kemaslahatan hidup masyarakat pendukungnya.
Pelestarian budaya lokal atau tradisi lokal sebagai warisan kebudayaan tidaklah  harus berarti bahwa tradisi-tradisi suatu masyarakat harus dipertahankan dalam keadaan statis dan murni. Akan tetapi tradisi tersebut hadir dan dipertahankan dalam proses dinamis serta adanya penemuan kembali bentuk tradisi tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Giddens  (2003) bahwa mempertahankan tradisi secara murni atau tradisional berarti menegaskan keterpisahan dan kekhasan. Menurut Giddens tradisi harus dikreasi sehingga melahirkan corak baru yang berdaya guna dan memiliki nilai tawar demi kelangsungan tradisi itu sendiri.
                Sztompka (2005) menyatakan bahwa era mondial merupakan tempat terjadinya pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai global, sehingga mengaharuskan perubahan tradisi menjadi sesuatu yang bermakna bagi masyarakat pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi akan dipengaruhi bahkan  disapu bersih oleh globalisasi. Menurut Giddens (2003) kehancuran masyarakat lokal karena masyarakat lokal tidak mampu mengimbangi derasanya arus globalisasi yang melanda masyarakat lokal sehingga  komunitas lokal tercerabut dari budaya lokalnya.
Motivasi menggali budaya lokal sebagai warisan budaya masa lalu, secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan kearifan lokal sebagai identitas bangsa, yang mungkin telah hilang karena proses akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai adalah situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Informan dalam penelitian ini adalah para maestro, tetua adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan warga masyarakat lainnya yang ditentukan secara purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: (1) pengamatan terlibat, (2) wawancara mendalam kepada generasi muda khsusnya para siswa SMA 1 Kontunaga dan SMA 1 Watopute, para pendidik, tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda utamanya kepada para pelestari tradisi, dan warga dan warga masyarakat lainnya  mengenai gagasan, pengalaman, pengetahuan informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan cerita rakyat, (3) melakukan studi dokumen tertama dokumen  yang terkait dengan kebudayaan masyarakat Muna.  Analisis data dilakukan secara kualitatif dan statistik deskriptif  melalui model Milles dan Huberman (1991) yakni secara deskriptif-kualitatif,  melalui langkah-langkah sebagai berikut;  (1) reduksi data yakni menyusun satuan-satuan seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi kelompok terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat abstraksi dan menyusun satuan-satuan data; (2) penyajian data yakni melakukan kategorisasi data dan pengelompokkanya secara lebih baik, menyusun hubungan antarkategori, membandingkan kategori data yang satu dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan data tersebut; dan (3) penarikan kesimpulan yakni  memberikan interpretasi dan hubungan antarkategori data yang sudah dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna dan kesimpulannya. Agar kerja penelitian berlangsung sesuai rencana, penelitian ini menggunakan beberapa sarana teknis penelitian, yaitu kartu-kartu data, dan pedoman wawancara,  tustel (kamera foto) atau kamera video.


D. Hasil dan Pembahasan

Unsur-unsur budaya lokal masyarakat Muna saat ini sudah banyak ditinggalkan oleh generasi pendukungnya terutama dari kalangan generasi muda. Unsur-unsur budaya lokal tersebut antara lain adalah  nyanyian rakyat seperti modero, kabhanti kantola,  permainan rakyat seperti   hule (gasing), kalapinda (jangkungan), kadudi, kalego, subha, boy, enggo, ase, kajilobha, kaghati roo kolope, perkelahian kuda,  dan lain-lain. Selain itu, folklor berupa kapu-kapuuna, watawatngke, kaukaudara, dan lain-lain. Bahkan fakta empirik lainnya menunjukkan bahwa dari 30 siswa di SMA Negeri 1 Kontunaga tidak hafal cerita rakyat, tidak hafal lagu-lagu daerah Muna, kurang  mengenal jenis-jenis permainan rakyat Muna. Kenyataan yang sama juga terjadi pada siswa-siswa di SMA 1 Watopute. Pada SMA 1 Watopute, pengetahuan siswa terhadap budaya lokal Muna menunjukkan bahwa dari 30 siswa yang diwawancarai, hanya 5 siswa yang bisa menceritakan isi beberapa cerita rakyat Muna, 15 siswa tidak bisa sama sekali menceritakan kembali isi cerita rakyat Muna, dan 5 siswa hanya bisa menyebut beberapa nama/judul cerita rakyat tetapi tidak bisa menjelaskan atau menceritakan konten ceritanya. Sementara 5 siswa lainnya menyatakan kurang faham tentang cerita rakyat (Basri,  et al, 2017).
Para informan  dari kedua Sekolah Menengah Atas tersebut juga dimintai pendapatnya tentang tarian rakyat dan permainan tradisional. Umumnya para informan menyatakan bahwa mereka mengenal tarian rakyat seperti tari linda tetapi mereka tidak bisa mempartikkannya dan tidak tahu makna filosofi gerakannya. Demikian halnya dengan permainan tradisional umumnya mereka masih mengenal beberapa jenis permainan tradisional Muna, tetapi mereka tidak bisa membuat sendiri permainan tersebut dan tidak bisa pula memainkannya. Jenis permainan rakyat yang masih dikenal di antaranya adalah kaghati roo kolope dan hule. Selain itu mereka juga masih mengeanal permainan ewa (silat), tetapi mereka tidak mengetahui secara utuh permainan tersebut, terutama dari aspek gerakan dan makna filosofi yang terdapat dalam permainan tersebut. Seluruh informan juga menyatakan bahwa mereka tidak perna bermain ewa (Basri, et al, 2017).
Kenyataan yang sama juga juga terjadi pada warga masyarakat biasa, khususnya warga masyarakat Muna yang berada di Kecamatan Watopute. Umumnya para informan menyatakan bahwa mereka tidak begitu mengetahui unsur-unsur budaya lokal yang mereka miliki. Bahkan mereka lebih akrab dengan salah satu budaya lokal masyarakat lain, seperti tari lulo yang merupakan kebudayaan masyarakat Tolaki dari pada budaya lokalnya sendiri. Saat ini tari lulo yang diiringi oleh musik dan elekton menjadi tarian yang sangat digandrungi oleh masyarakat Muna baik generasi tua maupun generasi muda. Lulo seakan sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Muna sehingga senantiasa dipentaskan pada setiap hajatan keluarga. Acara lulo ditampilkan pada malam hari sebagai hiburan warga setelah  selesainya hajatan keluarga yang umumnya dilaksanakan pada siang hari. Sementara kesenian lokal yang juga biasa menjadi hiburan rakyat seperti kantola, modero, gambusu tidak pernah lagi ditampilkan, sehingga kesenian asli Muna tersebut mulai terancam punah. Temuan tersebut semakin menegaskan bahwa saat ini budaya lokal masyarakat Muna sedang dalam proses menuju keterpinggiran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut.   

1. Tidak Adanya Pewarisan Budaya Lokal Dalam Keluarga dan Makin berkurangnya Tokoh-tokoh Tua yang Memahami Budaya Lokal Muna
                Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, dan unit sosial ini memiliki fungsi yang sangat strategis dalam mewariskan dan melindungi nilai-nilai buaya lokal suatu masyarakat. Dalam keluargalah awal mula seseorang mendapatkan pengetahuan dan mengamalkan pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang awal mula diperoleh dalam keluarga ini pulalah yang banyak memberi warna kehidupan seseorang dalam praktik sosial yang lebih luas.
                Berkenaan dengan hal tersebut, maka apa bila pengetahuan tentang apa dan bagaimana suatu kebudayaan asli itu disosialisasikan sejak dini kepada generasi baru melalui sistem prokreasi dalam rumah tangga atau keluarga, maka tentunya budaya asli berikut nilai yang terkandung di dalamnya akan menyatu dengan individu-individu pada setiap generasi. Dengan demikian budaya laokal tersebut akan  tetap hidup dan terlindungi tanpa digerus oleh kemajuan zaman. Hanya saja fungsi keluarga dalam mewariskan dan melindungi budaya lokal Muna dari ancaman kepunahan tidak diperankan secara maksimal.
                Hal ini terungkap dari hasil investigasi lapangan bahwa umumnya dalam keluarga tidak lagi terjadi pengenalan budaya lokal. Adalah La Sainudi (50 thn) salah seorang informan menuturkan bahwa “sebagai seorang bapak ia tidak lagi memperkenalkan budaya-budaya Muna kepada anak-anaknya, karena dia juga kurang mengerti budaya-budaya tersebut”.  Keyataan yang sama juga dialami oleh Wa Milihana (45) yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Wa Milihana menyatakan bahwa dia pun kurang tahu tentang cerita-cerita, atau nyanyian rakyat Muna yang bisa dia ceritakan atau dia nyanyikan sebagai pengantar tidur anak-anaknya. Karena keterbatasan pegetahuan dan referensi tersebut maka ia pun tidak pernah mendongengkan anak-anaknya dengan cerita-cerita dongeng atau folklore lainnya. Bahkan ibu ini memiliki cara jitu untuk menidurkan anak-anaknya, yakni dengan menyetel televesi sehingga anak-anaknya bisa nonton sambil baring dan akhirnya anak-anaknya bisa tertidur pulas di depan televisi.
Pandangan lain disampaikan oleh Lily (38) seorang guru honorer bahwa tugas kantoran juga turut menjadi penyebab tidak adanya proses pewarisan pengetahuan kepada tentang kebudayaan asli masyarakat Muna kepada generasi baru. Menurut Lily (38) tugas kantor sangat menyita waktu dan melelahkan sehingga turut mempengaruhi minat orang tua untuk berbagi pengetahuan kepada anak-anak mengenai kebudayaan. Keinginan untuk bebrbagi itu juga semakin diperparah oleh pengetahuan orang tua yang tidak cukup memadai tentang seluk beluk budaya Muna. Lebih lanjut Lily (38) menyatakan bahwa bagaimana mereka bisa mewariskan pengetahuan tentang kebudayaan Muna, sementara mereka juga tidak lagi memahami secara utuh  budaya Muna.
Sementara itu La Usa (70) menyatakan bahwa saat ini  tinggal sedikit tokoh tua yang memahami budaya Muna sehinga pewarisan tradisi kepada generasi berikutnya mengalami distorsi, termasuk kepada mereka yang saat ini telah menjadi ayah atau ibu. Akibatnya para ayah atau ibu tidak begitu memahami budaya asli Muna sehingga berdampak pada proses pewarisan budaya pada generasi berikutnya. La Usa (70) menyatakan bahwa saat ini sudah jarang ada orang tua yang mendongeng kepada anak-anak mereka sebelum tidur, atau main teka-teki dengan anak-anak mereka, karena para orang tua saat ini berbeda dengan para orang tua pada zaman mereka dulu, saat ini umumnya para orang tua juga sudah minim pengetahuannya tentang budaya Muna. Akibatnya para orang tua tidak memiliki bahan untuk bercerita kepada anak-anaknya atau kepada orang yang lebih muda lainnya. Menurut La Usa (70) penguasaan materi juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orang yang mendengar cerita atau teka-teki itu tertarik atau tidak. Sebab menarik tidaknya suatu cerita rakyat sangat tergantung pada cara penutur saat menuturkannya kepada pendengar.  Orang tua zaman dulu bisa mendongeng, berteka-teki, atau bisa memperkenalkan budaya orang Muna kepada generasi berikutnya karena mereka bisa mendengar langsung dari pernyataan orang tua mereka sebelumnya.
Olehnya itu, orang tua dulu sering main teka teki (watawatangke),  atau mendongeng pada setiap kesempatan kepada anak mereka dengan sangat menarik, sehingga anak-anak juga betah untuk mendengar dan menyimak jalannya suatu cerita. Cerita-cerita tentang warisan budaya masa lampau itu mereka lakukan baik ketika anak-anak menjelang tidur atau biasa juga disebut dengan dongong sebelum tidur, atau setelah selesai makan. Bahkan kadang juga cerita-cerita lisan seperti kapu-kapuuna, kau-kaudara menjadi sara pelepas lelah ketika mereka selesai bekerja di kebun. Akan tetapi kebiasaan itu saat ini sudah jarang ditemui dalam masyarakat Muna.
                Justru fakta lain yang muncul kepermukaan adalah adanya kecenderungan generasi muda Muna mulai dijauhkan dari budaya lokalnya. Hal ini antara lain terlihat dari penggunaan bahasa Indonesia di dalam rumah atau keluarga yang menggeser posisi bahasa ibu. Bahasa Muna justeru menjadi bahasa kedua dalam kehidupan keluarga. Rata-rata anak anak yang baru mulai belajar bicara oleh orang tua mereka diajarkan atau diajak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa Muna. Sehingga dengan mudah saat ini kita menemukan anak-anak TK di Muna yang fasih berbahasa Indonesia tetapi justeru tidak bisa berbahasa Muna. Umumnya anak-anak belajar bahasa Muna bila mereka telah menginjak usia SD bahkan ada dari sebagaian anak remaja Muna yang hanya tahu arti bahasa Muna tetapi tidak bisa mengungkapkannya.
                Selain itu, anak-anak muda lebih tahu memainkan kesenian etnis lain dari keseniannya sendiri. Misalnya anak-anak muda Muna sangat akrab denga permainan lulo yakni tarian milik etnis Tolaki, atau tarian pococo, joget dari pada tarian modero, linda, kantola  dan permainan-permainan tradisional Muna yang lain. Tentunya realitas ini sangat memprihatinkan, dan manakala kondisi ini terus dibiarkan maka suatu saat nanti, kebudayaan kebudayaan asli Muna hanya akan dikenal dalam catatan-catatan sejarah. Atau dengan kata lain budaya lokal Muna tidak terwariskan secara baik dan generasi selanjutnya tidak lagi mengenal konstruk budaya lokal Muna sebenarnya, sehingga akan mengalami kepunahan secara totalitas.
                Kenyataan di atas semakin menegaskan bahwa kearifan lokal masyarakat Muna sudah mulai dikikis oleh kekuatan modernisme yang pada akhirnya budaya lokal tersebut akan tercabut dari akar-akar keasliannya, sehingga kehidupan sehari-hari menjadi terdistorsi oleh nasionalisme baru yang bernama globalisasi dan lokalitas terdiferensiasi oleh sebab primitif itu. Dalam perspektif Ali (2007), situasi ini pada akhirnya akan menyebabkan masyarakat Muna kehilangan tradisi lisan, pepatah orang dulu terkikis, simbol dan, ritus lokal dipertukarkan dengan ritus komunal,  kearifan dan khazanah masyarakat lokal Muna tidak lagi sebagai praktik. Pada hal kebudayaan tradisional, sebenarnya begitu berarti  bagi eksistensi  suatu masyarakat, bahkan Jayadi (2014) menyatakan bahwa budaya lokal merupakan salah satu sumber inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Herman (2016) di tengah krisis nilai-nilai budaya modern dewasa ini, budaya tradisional tengah menjadi bahan kajian berbagai kalangan, karena diyakini bahwa di dalam budaya tradisional tersebut terdapat sejumlah kearifan lokal, yang dapat menjadi solusi atas krisis kebudayaan modern. Salah satu bentuk kearifan lokal  dalam budaya tradisional antara lain berupa ajaran-ajaran leluhur tentang nilai-nilai moral atau nilai-nilai kemanusia universal yang bersumber dari pengalaman hidup dan hasil interaksi masyarakat lokal dengan alam sekitar mereka (Mungmachon, 2012), juga nilai-nilai pendidikan multikultural (Basri, et al, 2017). Nilai-nilai tersebut sesungguhnya tidak hanya dimaksudkan untuk membantu mewujudkan keharmonisan hidup bersama saat terbentuknya suatu masyarakat dan kebudayaanya, tetapi juga dapat dipakai sebagai perangkat tata kelola kehidupan sampai ke masa-masa yang akan datang.


2. Benturan Nilai Budaya
                Adanya kontak atau pertemuan kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaan, maka terjadinya difusi kebudayaan menjadi sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Proses inilah yang menimbulkan terjadinya akulturasi yang bersifat inkorporasi. Dikatakan demikian, karena proses akulturasi dan asimilisai tersebut mengakibatkan terjadinya dekulturasi di masyarakat  Muna, terutama dalam aspek budaya imaterial.  Akulturasi yang bersifat inkorporasi ini antara lain dapat dilihat dari kebiasaan generasi muda Muna yang cenderung lebih muda menerima budaya etnis lain dari pada kebudayaannya sendiri. Kebiasaan generasi muda Muna yang lebih fasih bermain molulo, dimana molulo  adalah salah satu bentuk budaya imateril masyarakat Tolaki, disbanding dengan keseniannya sendiri seperti kantola  dan modero adalah contoh nyata dari adanya benturan nilai budaya, walaupun keduanya merupakan budaya lokal, dalam hal ini budaya Tolaki dan budaya Muna.
 Selain itu, modernisem juga menjadi bagian dari infiltrasi kognitif pada masyarakat Muna, sehingga mereka larut dalam gaya hidup modern dan bahkan sebagian dari mereka menjadikan identitas kemunaan tidak lagi dipandang secara bijaksana.  Masyarakat Muna yang memiliki tradisi pokadulu (gotong royong), saat ini juga telah banyak mengalami perubahan. Pokadulu tidak lagi menjadi salah satu bentuk jaringan sosial orang Muna karena peran-peran sosial dari tradisi pokadulu dieliminasi oleh fungsi ekonomi. Hal ini terlihat dari adanya perubahan fungsi pokadulu  pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Muna seperti tampak dalam acara atau hajatan keluarga. Misalnya, pada zaman dulu dalam hajatan kawinan,  kebiasaan masyarakat Muna menjelang hari  pelaksanaan pesta adalah bergotong royong membangun tenda, dalam hajatan itu juga hidup tradisi urungan, misalnya ada warga yang bawa ayam, telur, beras, ikan dan lain-lain yang dilakukan secara sukarela. Saat ini, trdisi itu sudah jarang ditemukan lagi. Tradisi gotong royong membangun bangsal atau tenda pernikahan saat ini digeser oleh kebiasaan menyewa tenda dari pihak-pihak yang menyediakan jasa penyewaan tenda.  Femomena ini sejalan dengan pemikiran Giddens (2003); Arivia, (2004),  yaitu globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan  hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring kehidupan umat manusia ke pola homogenitas kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parokial. Hal ini mengancam eksistensi budaya lokal berupa rusak atau bahkan menghantarkan budaya lokal menuju kepunahan (Giddens, 2005; Steger, 2006). Globalisasi benar-benar bersifat mondial dalam arti melingkupi semua pihak di pelosok bumi sampai ke  sudut-sudut terpencil dari desa global kita (Piliang, 2004).  Dengan demikian, masyarakat Muna pun merupakan sasaran dari globalisasi.
                Saat ini, masyarakat  Muna telah terperangkap dalam lingkaran masyarakat konsumtif yang menjadi ciri kapitalisme global. Dalam kehidupan masyarakat Muna saat ini, kita dapat menyaksikan merebaknya berbagai barang dan jasa seperti TV, parabola, dan berbagai kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dalam tataran gaya hidup generasi muda Muna dengan mudah kita temui muda-mudi yang mengecet rambutnya dengan pewarna buatan pabrik, banyak anak laki-laki yang memasang anting di telinga, hidung, dan bibir. Sungguh merupakan cerminan gaya hidup anak-anak muda modern. Fatalnya lagi  trend ini juga merambah pada anak-anak muda yang tinggal di Pedesaan Muna. Hal ini sejalan dengan pemikiran Toffler (1990), bahwa globalisasi membawa gaya hidup baru dalam kehidupan keluarga, mengubah cara kerja, membawah tatanan ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas semua itu mengubah kesadaran manusia. Demikian pula dengan Capra (2003), yang berpendapat bahwa, globalisasi telah banyak menimbulkan disintegrasi sosial, kemacetan demokrasi, makin pesat dan luasnya kerusakan lingkungan, penyebaran penyakit-penyakit baru, dan meningkatnya kemiskinan serta keterasingan. Globalisasi sebagai anak panah modernisme telah banyak menggelisahkan umat manusia, menimbulkan krisis ekologi, carut-marut ekonomi, politik global, imperialisme budaya, dan sebagainya.

3. Tidak ada Pementasan dan Digitalisasi Budaya Lokal
                Pentas atau festival budaya merupakan sarana yang sangat strategis dalam upaya melestarikan kebudayaan. Melalui pementasan maka suatu kebudayaan akan eksis, sebab suatu kebudayaan tidak mungkin dipentaskan bila orang atau pemain tidak memahami budaya yang akan dipentaskan itu secara komprehensif. Oleh karena itu, pementasan atau vestifal budaya merupakan momentum dimana orang akan belajar memahami budayanya. Pemahaman atas suatu kebudayaan itu bisa terbangun manakala terjadi praktik budaya. Praktik budaya hanya bisa terwujud bila terjadi suatu pewarisan kebudayaan. Agenda pentas budaya  merupakan salah satu sarana bagi masyarakat Muna untuk belajar dan mengetahui lebih jauh tentang kebudayaanya.
                Dengan pementasan budaya, maka masyarakat bisa membangun dan memberdayakan budayanya, karena masyarakat pendukung kebudayaan akan berlomba mencari tahu dan atau mempelajari kebudayaanya sendiri untuk persiapan mengikuti suatu festival budaya.  Dengan adanya hal ini akan memicu lahirnya komunitas-komunitas masyarakat pecinta seni dan budaya Muna. Lama kelamaan kelompok-kelompok pecinta seni dan budaya ini akan bermeta morfosis menjadi organisasi seni budaya yang dikelola melalui sanggar-sanggar seni budaya. Dengan demikian kebiasaan ini makin lama makin terlembagakan dan akhirnya kebudayaan Muna bisa eksis karena ada masyarakat pendukung dan pelestari atau pelanjut kebudayaan itu.
Hanya saja persoalannya sekarang adalah tidak adanya kegiatan-kegiatan seni budaya yang bisa menjadi wadah aktivitas dan kreativitas para seniman, budayawan, perhati dan peminat seni budaya dalam hal upaya penggalian, pelestarian dan pengembangan nilai–nilai budaya Muna  yang adhiluhung. Misalnya ada agenda tahunan berupa Pesta Kesenian Muna yang secara terencana digagas oleh pemerintah daerah. Akibat dari tidak adanya agenda agenda tahunan seperti ini, maka kebudayaan masyarakt Muna mati suri. Di Muna khususnya di daerah lokasi penelitian ini, sama sekali tidak ada sanggar seni budaya, sebagai salah satu sarana untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan Muna kepada generasi berikutnya melalui jalur kelembagaan. Jangankan lembaga individu atau kelompok maasyarakat pun tidak ada yang menaruh simpatik pada kebudayaan Muna secara terencana.  Generasi Muna pun belajar kebudayaan Muna hanya secara otodik, sehingga wajar bila sebaagaian besar dari mereka tidak melek tentang budayanya.
Selain tidak adanya kegiatan-kegiatan pementasan seni budaya Muna secara terukur, maka faktor lain yang turut  menyebabkan rendahnya pengetahuan dan kepedualian masyarakat Muna terhadap budayanya sendiri adalah tidak adanya upaya rekonstruksi, reinterpretasi dan reaktualisasi kebudayaan Muna melalui digitalisasi atau inovasi teknologi ke dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Muna. Masyarakat Muna masih melihat budayanya sebagai peninggalan yang tak punya arti apa-apa.  Umumnya masyarakat Muna membiarkan jejak-jejak peradaban mereka  berserahkan di mana-mana. Masyarakat Muna membiarkan kebudayaanya tidak terurus dengan baik, sehingga dikhawatirkan akan punah.
Masyarakat Muna, khususnya mereka yang berada di lokasi penelitian belum menyadari bahwa budaya merupakan deposit mata tambang baru yang tak akan pernah habis bila dieksploitasi secara terus menerus. Deposit tambang budaya apabila terus dieksploitasi justru akan bertambah subur karena ia meruapakan “deposit terbarukan”. Kebudayaan tambah diperhatikan tambah berkembang, malah sebaliknya jika dibiarkan tanpa perhatian, ia akan musnah. Tentu saja dengan catatan bahwa eksploitasi budaya sebagai deposit industri budaya memerlukan cara tersendiri sehingga karya budaya yang ditambang tetap menjadi mata air yang jernih, tetap menjadi sumber inspirasi bagi munculnya kreativitas, inovasi, dan penciptaan baru yang lebih bervariasi.
Hanya saja masyarakat Muna belum mampu melihat kebudayaan sebagai salah satu ruang baru untuk mengasah kreaktivitas dan inovasi. Pada hal begitu banyak kebudayaan muna yang bisa dikreasi sebagai bahan industri budaya, yang bisa dikembangkan dengan sentuhan inovasi teknlogi kedalam kebudayaan, sehingga bisa memicu lahirnya semangat wira usaha yang pada gilirannya mampu menghasilkan nilai ekonomi baru. Kebudayaan Muna yang bisa dieksploitasi menjadi deposit terbarukan adalah antara lain folklore yang didalamnya berupa cerita rakyat, permainan rakyat, makanan tradisional, kesenian tradisional, nyanyian rakyat dan lain sebagainya.
Cerita rakyat, nyanyian rakyat, permainan tradisional adalah bagian dari folklor yang bisa dikembangkan dengan memasukan sentuhan inovasi teknologi ke dalam kebudayaan tersebut menjadi suatu bahan film animasi kebudayaan. Bila hal ini dilakukan maka kebudayaan Muna tidak hanya terhindar dari bencana kepunahan, tetapi juga memiliki dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat Muna. Film animasi kebudayaan bisa menjadi salah satu sarana pendidikan dan pembinaan moral dan budi pekerti generasi muda. Selain itu, secara ekonomi film ini bisa menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi masayarakat. Karena di dalam film ini banyak pihak yang terlibat dan keterlibatan para pihak itu memiliki konsekwensi ekonomi. Begitu pula bila film animasi kebudayaan memiliki daya tarik tersendiri, maka sangat mungkin film tersebut dikontrak oleh stasiun-stasiun televisi baik lokal maupun nasional. Tentunya hal ini akan berimplikasi secara ekonomi kepada para pemain, dan sutradara film dan juga bagi masyarakat sekitar.
  Stereotipe eksploitasi dan pengembangan kebudayaan masyarakat Muna tersebut sejalan dengan pemikiran Baudrillard (2004) dalam Ritzer (2006) bahwa masyarakat tradisional tidak harus kehilangan aset produksinya, melainkan didorong untuk memasuki pasar dan mereka akan terus menerus hanyut dalam budaya konsumsi atas produk-produk barang dan jasa yang terus menerus diproduksi. Karena itu, pengaturan mode produksi tidak penting, tetapi yang utama adalah strategi mendorong produk dari masyarakat asli masuk ke dalam pasar global.
                Dalam era globalisasi saat ini proses saling mempengaruhi satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan adanya perubahan kebudayaan tidak dapat dihindari. Globalisasi sebagai gejala perubahan di masyarakat melanda seluruh bangsa di dunia. Bahkan menjadi ancaman dan tantangan terhadap integritas suatu bangsa. Dengan demikian, msyarakat Muna pun sebagai bagian dari masyarakat terbuka tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi ini. Dengan demikian, yang lebih penting adalah  harus mewaspadai secara serius dengan menyikapinya dan memanfaatkan efek global secara baik sepanjang pemanfaatan efek global tersebut tidak merusak tatanan dan harmoni sosial orang Muna. Di sisi lain ekspansi budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap budaya lokal dan regional, serta merangsang dinamika dan strategi budaya lokal dalam merespon globalisasi (Nashir, 1999)
Mencermati kecenderungan budaya lokal masyarakat Muna yang mulai mengalami pergeseran, maka budaya lokal masyarakat Muna perlu direvitalisasi dengan strategi sebagai berikut: 1) Inventarisasi, yakni mengidentifikasi dan memisahkan budaya lokal yang produktif dan kontraproduktif; 2) Reinterpretasi, yakni menginterpretasi ulang makna, nilai dan fungsi budaya lokal agar tetap produktif; 3) Reorientasi pemahaman pemilik budaya dan rekonstruksi budaya lokal, yakni budaya lokal harus diorientasikan bagi kesejahteraan masyarakat dan kepentingan masa depan melalui inovasi teknologi terhadap budaya lokal, sehingga bisa memicu lahirnya semangat wira usaha yang pada gilirannya mampu menghasilkan nilai ekonomi baru. Kebudayaan Muna yang bisa dieksploitasi menjadi deposit terbarukan adalah antara lain folklore yang didalamnya berupa cerita rakyat, permainan rakyat, makanan tradisional, kesenian tradisional, nyanyian rakyat dan lain sebagainya; 4) Menetapkan atau mengangkat maestro-maestro baru sebagai pemerhati dan pelestari budaya.

E. Kesimpulan
                Budaya lokal masyarakat Muna sedang menuju pada proses ketidak bertahanan dan tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan hilangnya sebagian dari unsu-unsur kebudayaan Muna. Salah satu indikasi dari ketidak bertahanan budaya lokal masyarakat Muna adalah minimnya pengetahuan generasi muda Muna terhadap budaya lokalnya dan malui masuknya budaya luar yang menggantikan peran dan fungsi budaya tradisional asli Muna dalam praktik sosial kemasyarakatan. Ketidak bertahanan budaya lokal Muna disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut; 1) Tidak adanya pewarisan budaya lokal dalam keluarga dan makin berkurangnya tokoh-tokoh tua yang memahami kebudayaan Muna, sehingga berdampak pada minimnya pengetahuan generasi muda terhadap budaya lokalnya; 2) Benturan kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya akulturasi inkorporasi pada kebudayaan lokal Muna; 3) Tidak ada pementasan budaya lokal Muna secara massif.











Daftar Pustaka

Ali, Madekhan. (2007). Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press.
Arivia, Gadis, 2004. “Mencari Kesadaran Baru untuk Mendapatkan Peradaban Baru”. Dalam: Jalan Paradoks Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan dan kehidupan Modern. Penyunting: Budi Munawar R dan Eko Wijayanto. Jakarta: Teraju.
Basri, Ali, Ode, La, Momo, H.A., Rahman, Abdu. (2017). Strategi Pelestarian Budaya Lokal Masyarakat Muna. Laporan Hasil Penelitian. Kendari: LPPM UHO.
Basri, A.,Ode, L, Aso, L, Momo, H.,A, Mudana, Wayan, I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, & Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture .Asian Culture and History, 9(1), 33-39.
Capra, Fritjof, 2003. The Hidden Conecction Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Penerjemah: Andya Primanda. Yogyakarta: Jalasutra.
Giddens, Anthony, 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah: Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD   
________, 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Herman, K.D.R. (2016). Traditional knowledge in a time of crisis: climate change, culture and communication. Sustainability Science, 11 (1), 163-176.
Jayadi, Karta. (2014). Kebudayaan sebagai Sumber Inspirasi:Tinjauan Antropologi Visual pada Pelukis di Kota Makassar. Gelar, 12 (2), 115-128.
Nashir, Haedar, 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miles, M.B dan A.M Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI.
Mungmachon, R.M. (2012). Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, 2 (13), 174-181.
Pudentia, MPSS,. (2010).The Revitalization of Mak Yong  in the Malay Word. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 12 (1), 1-19.
Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra
Ritzer, George, 2006. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi wacana.
Sediawati, Edi, 2014. Kebudayaan di Nusantara, Depok: Komunitas Bambu
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal Hakikat Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Steger, M., B., (2006). Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
Sztompka, Piotr. (2005). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Taena, La dan Hermina. (2013). Makna Simbolik pada Tradisi Karya pada Masyarakat Muna. Mudra, 28 (1), 96-105















Komentar

Postingan populer dari blog ini

NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUDAYA TRADISIONAL ETNIK MUNA

MULTICULTURALISM IN THE LOCAL WISDOM OF BAJO TRIBE