MENGGALI NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA MASYARAKAT SULAWESI TENGGARA
MENGGALI NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PADA MASYARAKAT SULAWESI
TENGGARA
OLEH
L.A. BASRI
DISAMPAIKAN DALAM ACARA FOCUS GROUP
DISCUSSION BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN AGAMA
MENGGALI NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PADA MASYARAKAT
SULAWESI
TENGGARA
Pendahuluan
Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya lokal sendiri yang menjadi cirri khas sekaligus keunikkan
atau karakteristik pada masyarakat tersebut. Keanekaragaman budaya daerah tersebut
merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri
pada masing-masing suku bangsa, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan
identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Di dalam budaya lokal suatu masyarakat terdapat suatu kearifan (wisdom/local genius) sebagai kebudayaan spesifik yang digali dari pengalaman hidup mereka
pada masa lampau. Kearifan lokal adalah suatu produk budaya masa lampau, merupakan
kebudayaan spesifik yang digali dari
nilai-nilai luhur atau nilai dasar kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi
milik bersama masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal tercipta dari
pengalaman hidup dan kebiasaan masyarakat di masa lalu, memiliki sifat selektif
dan fleksibel sehingga mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai
tantangan (Ardika, 2007, Mbete, 2006). Lebih lanjut
Wijaya (2008), menyatakan kearifan lokal tidak hanya dimaksudkan untuk membantu
menegakkan harmoni hidup bersama saat terbentuknya saja, tetapi juga dapat
dipakai sebagai perangkat kehidupan sampai ke masa yang akan datang.
Artinya bahwa, di dalam
budaya lokal terdapat seperangkat nilai sekaligus kerangka normatif yang
menjadikan masyarat tersebut bersikap arif dan bijaksana dalam berbagai tindak
tanduknya, termasuk di dalamnya nilai-nilai pendidikan untuk menghargai
keberagaman atau multikultural. Pendidikan multikultural adalah proses
pengembangan seluruh potensi manusia untuk menghargai pluralitas dan
heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama (
Naim dan Sauqi, 2008: 50). Sementara Mahfud (2009:175) meminjam pendapat
Anderson dan Cusher, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman budaya. Begitupula dengan James Banks yang dikutip Mahfud (2009:175) mendefenisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan yang ingin mengeksplorasi perbedaan
sebagai keniscayaan (anugrah tuhan/sunatullah). Kemudian kita mampu menyikapi
perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.
Konsep pendidikan
multikultural yang demikian itu, sesungguhnya jauh-jauh hari telah diajarkan
oleh leluhur-lehur kita secara oral sebagai mana kita bisa temui dalam berbagai
tradisi lisan masyarakat nusantara, termasuk masyarakat Sulaawesi Tenggara.
Hampir dapat dipastikan semua etnis di Sulawesi Tenggara (Muna, Buton, Tolaki,
Bugis, Moronene, Bajau dll) memiliki ajaran nenek moyang tentang bagaimana
tatacara menghargai dan merayakan perbedaan dalam kesederajatan. Untuk itu,
tulisan ini berusaha mencoba menggali dan mengkreasi beberapa budaya etnis
lokal di Sulawesi Tenggara mengenai pandangan-pandangan filosofi dan budaya
lokal lainnya yang dipandang memiliki relevansi dengan konsep pedidikan
multikultural.
B. Nilai-Nilai
Pendidikan Multikultural dalam Ragam Budaya Masyarakat Sulawesi Tenggara
I. Nilai-Nilai
Pendidikan dalam Budaya Falia (Pemali)
pada Masyarakat Muna dan Bajo
Berikut ini adalah
beberapa kearifan folosofi yang terkait dengan pemali dalam kehidupan
masyarakat di Sulawesi Tenggara. Kearifan ini disarikan dari budaya lokal Orang
Bajo dan Orang Muna di Sulawesi Tenggara yang dipandang selaras atau tidak bertolak belakang dengan ajaran
Agama Islam.
1.
Menghargai Tetangga
Salah satu ajaran moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Orang Bajo
adalah ajaran pemali membuat jengkel tetangga. Prinsip seperti ini dapat
dicermati dalam pandangan orang Bajo bahwa ”pemali membuat jengkel
tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di
halaman rumahnya”. Menurut Orang
Bajo falsafah di atas mengandung makna “perlunya
memelihara keutuhan masyarakat, dan keutuhan masyarakat itu bergantung kepada adab kesopanan dan
ketinggian budi pekerti.
Dengan ajaran seperti itu orang Bajo memandang dan memperlakukan tetangganya
dengan baik, sebab sudah menjadi kelaziman manusia yang hidup di muka bumi ini
saling memerlukan antara satu dengan yang
lainnya. Mereka berpandangan bahwa
orang Bajo berkewajiban mengekalkan hubungan baik dengan tetangga demi
mewujudkan kehidupan setempat yang aman dan harmoni. Ungkapan bahwa
”janganlah membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam
perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya”, mengisyaratkan bahwa kulit
kerang itu kasar, berduri dan tajam. Jika diinjak dapat menyebabkan kaki
terluka, atau membuat perasaan tidak nyaman jika diduduki, sedangkan perahu
adalah simbol dari jantung kehidupan orang Bajo. Untuk itu orang Bajo tidak
boleh saling melukai perasaan, merasa iri dan dengki dengan sesamanya. Orang Bajo mendirikan rumah-rumah panggung
di atas permukaan air laut, dengan tiang-tiang ditancapkan ke dalam pasir.
Umumnya rumah mereka tidak dilengkapi dengan kamar-kamar atau dipetak dengan
dinding-dinding kamar yang memadai. Biasanya hanya kamar keluarga (suami-istri)
yang dipetak, selebihnya tidak ubahnya sebuah aula besar. Jika pintunya dibuka
akan kelihatan mulai dari ruang depan sampai ke dapur.
Sementara itu, lantai
rumah sama tingginya atau setara dengan rangakaian papan yang berfungsi sebagai
pekarangan dan jalan yang menghubungkan rumah warga yang satu dengan warga yang
lainnya. Hal inilah yang melatari mengapa filsafat etika dan moral orang Bajo
mengajarkan agar menjaga perasaan tetangga dengan tidak menaburkan atau
menyimpan pasir di pekarangan orang lain. Sebab butir-butir pasir adalah salah
satu anasir yang mudah diterbangkan angin
dan jika sampai masuk ke dalam
rumah tentu akan mengotori rumah dan perabotnya sehingga dapat mengganggu
kenyamanan penghuni rumah bahkan dapat mengganggu jalannya proses-proses
prokreasi dalam rumah tangga.
Menurut Masyarakat
Bajo tetangga adalah orang yang tinggal
paling dekat dengan rumah mereka, dan yang tinggal dalam lingkungan jarak 40
buah rumah daripada rumah mereka. Segala perkara yang berlaku terlebih dulu diketahui
oleh tetangga. Karena itu, tetangga
adalah orang paling dekat untuk memohon pertolongan ketika ditimpa
musibah seperti kebakaran, kecurian atau kematian. Kekuatan hubungan
ketetanggaan yang sempurna dan harmoni mengukuhkan ikatan persaudaraan dan
kasih sayang sesama orang Bajo, yang kadangkala melebihi daripada keluarga
sendiri.
Untuk itu, sikap yang
harus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan bertetangga adalah tiap-tiap individu
mengamalkan dan menghayati sikap berlapang dada, mengargai perbedaan pandangan,
saling memahami, meningkatkan kesabaran, bertukar pendapat, mencari titik
persamaan dan mengeratkan hubungan yang renggang dengan penuh hikmah serta
kasih-sayang. Dalam konsepsi orang Bajo impian mempunyai tetangga yang baik
tidak akan terlaksana jika kita belum menjadi tetangga yang baik terlebih
dulu. Dengan adab kesopanan dan
keluhuran budi pekerti ini menjadikan seseorang itu dihormati dan harmoni dalam
masyarakat pun dapat terjamin.
2.
Menghindari dan Mendamaikan Konflik
Kerukunan merupakan
pilar utama yang mengokohkan bangunan masyarakat Bajo, sehingga segala bentuk
pertikaian dan kesalahpahaman sentiiasa dihindari. Jika dua pihak terjadi
kesalah pahaman, maka pihak ketiga bertindak mendamaikan. Sudah menjadi tradisi
orang Bajo bahwa tetua adat bertanggung jawab penuh dalam mendamaikan suatu
perkara. Kalau ada pertengkaran, orang ketiga dalam hal ini tetua adat akan
datang secara terus menerus untuk menasehati bahwa marah dan hati yang panas
adalah pekerjaan setan. Jika seseorang tidak mampu mengendalikan emosi atau
rasa amarahnya, maka suatu pertanda bahwa orang tersebut sedang dikuasai oleh
setan. Dalam kesempatan itu, pihak ketiga juga menyampaikan kepada salah satu
pihak bahwa pihak lainnya merasa sedih
dan ingin berdamai. Demikian seterusnya hingga kedua belah pihak saling
berdamai.
Mekanisme kontrol dan
pengendalian sosial masyarakat Bajo yang demikian itu, telah ada sejak lama.
Pengetahuan itu diwarisi dari nenek
moyang mereka secara turun-temurun,
(Basri, 2010). Dalam sejarah kehidupan orang Bajo ada sebuah kisah yang
menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada anak orang Bajo kakak beradik terlibat
pertengakaran. Dalam peristiwa itu, datanglah salah seorang untuk mendamaikan
mereka, dan akhirnya kedua anak itu berdamai dan saling memaafkan. Selain itu,
ada juga kisah seorang laki-laki yang bertengkar dengan mertua laki-lakinya,
kemudian datang salah seorang yang menjadi mediator untuk mendamaikan mereka.
Orang tersebut datang kepada salah satu pihak dengan mengatakan bahwa pihak
lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.
Pada akhirnya perdamaian antara anak menantu dan bapak mertua tersebut
dapat terwujud.
Demikianlah orang Bajo
mewarisi menejemen pengelolaan konflik dari ajaran para leluhurnya untuk
mewujudkan tertib sosial pada internal mereka. Setiap kali memediasi konflik
para tetua adat selalu memahamkan kepada pihak yang bertikai bahwa dulu nenek moyang mereka jika bertikai atau
bersalah paham dengan sesamanya, selalu ada di antara mereka yang berjiwa
besar. Mereka mengungkapkan perasaan bersalah kepada orang lain yang dianggap
dapat menjadi mediator dan menyampaikan kepada salah satu pihak bahwa pihak
lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.
Pada tataran praksis sosial, manajemen dan resolusi konflik ini terbukti mampu menciptakan keharmonisan
dan ketentraman dalam masyarakat Bajo. Semangat
dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan orang Bajo demikian
prominensia, sehingga Robert Zacot menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat
yang cinta damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut. Zacot (2008:
222) menyatakan bahwa seperti di bawah ini.
“Orang
Bajo tidak menyukai kekejaman. Mereka
membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang merendahkan harga dirinya
kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa percekcokan antara
suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat yang dijuarai oleh
Ua Piana dan istrinya, aku tak pernah menyaksikan pertengkaran di antara
penduduk desa.”
3. Menghargai Jasa dan Hasil Karya Orang
Lain
Pemali”dalam
masyarakat juga mengandung nilai yang memberi petunjuk agar manusia belajar
menghargai jasa dan hasil karya orang lain. Sesama manusia harus saling
menghormati hasil usaha, ciptaan, dan hasil pemikiran. Menghargai hasil karya
dan jasa-jasa orang lain merupakan salah satu upaya membina keserasian dan
kerukunan hidup antar manusia agar terwujud kehidupan masyarakat yang saling
menghormati dan menghargai sesuai dengan harkat dan derajat seseorang sebagai
manusia. Konsepsi seperti ini dapat ditemukan dalam konsep pemali masyarakat Muna yakni “ofalia detongka kahitela atawa dotobhe ane minaho natumandakie parikano rampano mina
nakoinawaane kahitela be pae (pemali memanen
jagung atau menuai padi jika belum
didahului oleh parika (dukun
tani). Parika adalah orang yang telah berjasa dalam
menyemaikan benih dan memulai penanaman (jagung/padi) sehingga pada saat panen
senantiasa didahulukan dalam memulai aktivitas panen. Kebiasaan mendahulukan parika sangat kuat melekat dalam budaya perladangan
masyarakat Muna.
Selain itu, pemali lain
yang mengajarkan agar menghargai hasil karya dan jasa orang lain dapat
dicermati pada larangan meninggalkan rumah, jika makanan atau minuman telah
dihidangkan. “Ofalia doere dokala ane
kaalahino
nefumaa atawa okaforoghu nentaa-ntamoa, rampano notikini ane lalo
(pemali beranjak meninggalkan rumah saat makanan atau minuman sudah dihidangkan
karena membuat hati jadi sedih/ada suatu perasaan yang kurang
enak”).
Penyuguhan makanan atau minuman adalah bentuk kebaikan dan
pemuliaan kepada kita, sehingga selayaknya kita menghargai kebaikan itu dengan
mencicipi hidangan dimaksud. Bila pergi
meninggalkan rumah tanpa mencicipi hidangan yang telah disediakan itu, bisa mengakibatkan kekecewaan pada pihak yang telah
menyuguhkan makanan.
Nilai kultural kedua falia”pemali” tersebut adalah
mengapresiasi dan menghargai kebaikan orang lain. Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan menghargai dan menghormati hasil karya orang lain, dapat
menciptakan harmoni sosial, sehingga
kehidupanbermasyarakat akan berjalan dengan tenteram dan damai
karena setiap orang akan menyadari pentingnya sikap saling menghormati dan
menghargai tersebut. Selain itu, menumbuhkan sikap menghargai hasil karya dan
jasa orang lain merupakan sikap yang terpuji karena merupakan pencerminan
pribadi penciptanya sebagai manusia yang ingin dihargai.
4. Mengupul Harta dengan Cara yang Benar
Pemali
masyarakat Muna juga ditemukan etika tentang kepemilikan
harta benda. Hal itu dapat dijumpai pada ”falia
depake/deala hakunaasi rampano nobinasaane mbhada dhunia ahera“ (pemali
memakai/mengambil hak naas karena membinasakan badan dunia akhirat). Stilah haku
naasi ‘hak naas’ dalam kalimat falia”pemali”di atas merupakan simbol
yang bermakna ‘hak orang lain’ baik menyangkut harta bergerak maupun tak
bergerak. Mengambil atau memakai haku naasi ‘hak naas’ sangat ditabukan
dalam masyarakat Muna.Jika pemali tersebut dilanggar mengakibatkan kebinasaan
pada yang melanggarnya didunia dan akhirat, artinya pelakunya tidak akan
selamat baik di dunai maupun di akhirat.
Dengan demikian falia”pemali”ini
memberikan petunjuk kepada kita untuk tidak menghalalkan segala cara dalam
mencapai tujuan yang inginkan, termasuk tujuan mengumpulkan harta.
Dalam perspektif sosiokultural, pemali merupakan norma
kesusilaan karena di dalam pemali terdapat seperangkat nilai-nilai kemanusiaan universal yang dijadikan
pedoman oleh masyarakat untuk menciptakan tertib dan harmoni sosial. Dalam pandangan Pranowo (1998: 4)
pemali atau dalam antropologi dikenal dengan istilah taboo ( Koentjaraningrat, 1992; Basri, 2010)
merupakan tradisi yang menjadi salah satu pandangan
hidup di mana
dibalik larangan tersebut terdapat unsur-unsur pendidikan budi pekerti yang
dapat membentuk kepribadiaan anggota masyarakat agar menjadi pribadi-pribadi yang baik. Dengan demikian pemali merupakan
pengontrol bagi seseorang (self control)
dan bagi masyarakat secara kolektif (social
control) agar tidak bertabiat buruk, tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum baik hukum adat maupun hukum
agama, tidak melanggar norma-norma etika dan kesusilaan, dan tidak merusak alam
(Aderlaepe, 2006: 3)
II. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam
Ungkapan-Ungkapan Tradisional
A. Pe’olili (Pesan-pesan
Leluhur Masyarakat Tolaki)
1. Iamo U ehe mondoiehe ine suere ndono
“Jangan
suka berbuat semena-mena terhadap orang lain”
2. Iamo U teroraroramba
“Jangan merampas hak orang lain”
3. Piarai raimu, pombeotooriamino ariamu
“Peliharalah sikap dan tindakanmu, pertanda engkau
berasal dari bangsa yang beradap”
4. Uuno hina nggau-nggauno oleo haka
melengge-lengge keto dowako, haka metonduwako, keto melengge-lengge
“ Zaman berputar, waktu berganti, keadaan
akan tampak berubah, dengan pengakuan bahwa derajat, hak dan kewajiaban sesame
manusia tetap sama”
5. Mombeku saramasiako meosaa manusia
”Saling mencintai sesame manusia”
6. Taa moronga-ronga ehe mbosisi pisi
”Tidak memandang enteng orang lain”
7. Taa membekasara meosaa manusia
”Tidak berbuat kasar terhadap orang lain”
8. Ehe montondo toono meohai
“Suka menolong orang lain”
9. Ehe medulu mepokoaso
“Suka berkumpul dan bersatu/tidak eksklusif”
10. Mesule osara peowai sala menggomo
“Memutarbalikan kebenaran adalah perbuatan
yang tidak terpuji”
11. Mekooli posipole, wonua ari ine pasipole dowo
“Mendahulukan kepentingan umum diatas
kepentingan pribadi”
12. Taa mombo parauako ponaa ine suere ndomo
“Tdak memaksakan pendapat pada orang lain”
13. Ano siwowoki pona ai amba mokalakai
“Menyatukan pendapat kemudian
melaksanakannya”
14. Taa mosim sima toono meohai
“Tidak membeda-bedakan orang lain”
B. Pandangan Leluhur Masayarakat Buton
1. Sara pata anguna yakni: pomae-maeka,
pomaa-maasiaka, popia-piara, poangka-angkataka
“Saling takut menakuti dalam melaksanakan
pelanggaran, saling cinta menciantai untuk mempertahankan kesatuan dan
persatuan, saling memelihara satu sama lain, saling utama mengutamakan”
2. Bincikippea okulimu
“Cubit kulitmu sendiri; bila merasa sakit jika disakiti, maka janganlah menyakiti orang
lain”
3. Minciuanapo isarongi amasega, nesabutuna atalo sabhara lipu, tabeano
isarongi atalomea hawa nafusuuna
“Belum dikatakan berani, jika hanya
mengalahkan segala negeri, dikatakan berani kecuali telah mengalahkan hawa
nafsunya”
4. Oleo yi olooloti ajulakea pomaa-maasiaka
“ Silaturahmi merajut hubungan kasih
sayang”
5. Malanga uwe te kauwa
“Kebanyakan mengoreksi keburukkan orang
lain, melupakan keburukan diri sendiri”
6. Bholimo arataa sumanomo karo, bholimo karo sumanomo lipu, bhlimo lipu
sumanomo sara, bholimo sara sumanomo agama
“Biarlah rusak harta benda asal jangan
rusak pribadi/diri, biarlah rusak diri/pribadi asal jangan rusak daerah,
biarlah rusak daerah asal jangan rusak pemerintahan, biarlah rusak pemerintahan
asal jangan rusak agama”
C. Ungkapan ungkapan Arif Orang Muna
1. Mahingga omangka te towuno harimau, ani sonidhalangimu sala metaa, maka
sadhia osalamati
“Biarpun engkau berjalan di atas punggung
harimau, asal engkau menjalankan kebenaran, maka keselamatan tetap bersamamu”
2. Doposabhangka bhe mie mbolakuno
dombolaku dua, doposabhangka bhe mie potarono dopotaro dua
“Bila berteman dengan pencuri, kita akan
mencuri juga, berteman dengan penjudi kita akan berjudi juga”
3. Soano
mie moghanea ane mie tumalono kaewano, tabea mie moghane mie tumalono nafusuuno
“Bukan pemberani/jagoan kalau dia baru
mengalahkan lawannya, tetapi yang dikatakan jago/pemberani adalah orang yang
telah dapat mengalahkan hawa nafsunya”
III. Pendidikan Multikultural Dalam Cerita Rakyat
A. Legenda Asal Mula Kerajaan Mekongga
Konon Kabupaten Kolaka saat ini merupakan bekas
kekuasaan kerajaan Mekongga pada masa silam. Hal ini dapat ditemui dalam
legenda asal usul kerajaan Mekongga sebagai berikut. Pada zaman dahulu kala
terjadi migrasi penduduk dari kawasan danau Matana dan kawasan Mahalona. Salah
satu dari kelompok itu masuk ke jazira Tenggara dengan melewati lereng gunung Watakila (sekarang pegunungan Mekongga),
kemudian mereka belok ke arah Barat dan menempati suatu wialayah yang disebut Unenapo. Wilayah Unenapo membentang luas
dari Woimendaa (Wolo) sampai selatan tanjung Laponu-ponu (Toari).
Para pendatang ini menemukan penduduk yang telah lebih
dahulu mendiami dataran Unenapo yang mereka sebut dengan moronene (orang lama). Alkisah para pendatang dan orang lama ini
awalnya terjadi perselisihan, namun kemudian membangun perjanjian dan
bersepakat untuk hidup berdampingan secara damai dan bersatu membangun Unenapo.
Akan tetapi kedamaian mereka yang telah terbangun puluhan tahun mulai terusik
dengan munculnya burung elang besar yang
disebut Konggaaha. Burung elang ini
membawa malapetaka besar bagi warga Unenapo, karena setiap hari memangsa hewan
peliharaan dan hewan liar lainnya. Keberingasan burung elang ini bisa
dihentikan setelah datangnya dua orang
kesatria bersaudara yang bernama Larumbalangi
dan Wekoila.
Larumbalangi
membuat skenario pembunuhan burung elang dengan menjadikan seorang laki-laki
warga setempat sebagai umpan, sedangkan laki-laki yang lain menyiapkan senjata
berupa panah dan bersembunyi di balik semak belukar. Begitu burung elang datang
memangsa sang umpan, serta merta warga melesatkan anak panah mereka pada tubuh
burung elang, dan elang pun jatuh ke tanah. Sesaat kemudian suasana Unenapa
menjadi riuh dan gegap gempita karena rakyat merayakan keberhasilan Laelangi
dan warga sekitar yang berhasil membunuh burung Konggaaha.
Setelah semuanya dianggap aman, maka warga bersepakat
menobatkan Larumbalangi sebagai pemimpin wonua
atau raja di negeri Unenapo. Pada kesempatan itulah Larumbalangi berpidato
dihadapan seluruh rakyat Unenapo dengan isi pidato kurang lebih sebagai
berikut: “inggito luwuako mbera toono I
Unenapo, mbesamaturu metudui keitoto mbepatei konggaa. Tinamoako keitoto to
Mekongga, Wonuando tinamoito wunua mekongga. Maindo ato lalaika medulu
mepokoaso, pulei ronga dumagai meamboi wonuando mekongga iito:
-
Medulu mbonua
-
Medulu mbangudu
-
Mbeka meririako
-
Mbeka tulungiako
-
Mbeka pehawiako
-
Mbeka owoseako
Terjemahan:
Kita semua berasal dari berbagai ragam
manusia sebagai penghuni negeri Uninapo, telah bersatu bergotong royong
membunuh burung elang besar, sehingga sekarang kita disebut suku Mekongga.
Marilah kita selalu bersatu padu, rukun dan damai, mengatur dan menjaga
baik-baik negeri Mekongga dengan cara sebagai berikut.
- Bersatu dalam
pendapat/pikiran
- Bersatu dalam tujuan
- Saling menyayangi
- Saling menolong
- Saling mengingatkan
- Saling menghargai
Mencermati
cerita di atas tampaknya dapat ditarik benang merah bahwa cerita mengandung
makna dan nilai-nilai pendidikan multikultural, sebagaimana tampak pada sikap
penduduk pendatang dan orang lama yang saling membaur dan membentuk entitas
baru sebagai orang Mekongga. Nilai-nilai pendidikan multikultural juga dapat
disimak dalam pidato Larumbalangi yang dinobatkan sebagai raja Unenapo karena
keberanian dan kecerdasannya mempimpin penduduk menyusun siasat dan strategi,
sehingga Konggaaha dapat terbunuh, warga menjadi aman, tenteram dan sejahtera
(Taalami, 2011: 86).
B. Legenda Kabhawono Kamonsope
bhe Kabhawono Sabha
Mpolulu (Gunung Kamosope dan Sabha Mpolulu)
Naskah
:…..Pada amaitu
nofekirimi We lalono, inodi ini o
moghane, anoa o robhine tungguno
kabhawono Kamonsope. Ambanoa
amosurue amalae labhihaku.
Nopogaumu tora tungguno kabhawono Kamonsope
kaasi, ambanoa aembali
robhine ini akiido
omosuru kanau. Nofetingke
wambano nagha kansuru
noamara tungguno kabhawono
Sabha Mpoluku. Noalamo sinapano
maka notemba tungguno
kabhawono Kamonsope. Bhabhaano
notembae miina nakumantibhae. Nefohala
tungguno kabhawono Kamonsope.
Nofeendua notembae
miina narumato bhatuno.
Pada amaitu nobholosimo
dua tungguno kabhawono
Kamonsope. Sepaku notembae,,
nokantibhae nopoweta peda
kasabhano polulu.
Katikonahanomo kabhawo Sabha
Mpolulu…
Terjemahan: ……Sbha Mpolulu mengatakan, “saya ini
laki-laki, kamu (Kamosope) perempuan, saya
akan memaksamu untuk mengambil airmu. Penungguh gunung Kampsope
menjawab, “kasian walaupun saya jadi perempuan jangan paksa saya… Tetapi Sabha
Mpolulu tetap memaksa sampai terjadi
pertempuran diantara keduanya yang berakhir pada kekalahan Sabha mpolulu….
Petikan
ceerita di atas menunjukkan bahwa Sabha
Mpolulu ingin melakukan dominasi terhadap Kamosope. Namun Kamosope
menyadari bahwa dirinya sedang disubordinasi oleh Sabha Mpolulu, sehingga
Kamosope melakukan perlawan terhadap ketidakadilan gender tersebut. Meminjam
pemikiran Sunarijati (2007: 31) bahwa apa yang dilakukan oleh Sabha Mpolulu adalah suatu upaya dominasi patriarki yang berusaha
agar perempuan
menjadi manusia yang pasrah pada budaya patriarki. Sedangkan
apa yang dilakukan oleh Kamosope adalah bentuk perlawanan gender terhadap
ketidakadilan budaya patriarki. Dari cerita
ini, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa konsep emansipasi dan kesetaraan
gender pada masyarakat Muna telah ada dalam waktu yang sudah sangat lama. Cerita ini juga mengirim pesan
pendidikan multikultur mengenai perlunya menghargai dan mengakui hak-hak orang
lain, utamanya memuliakan perempuan.
Mencermati
fragmen-fragmen budaya lokal masyarakat Sulawesi Tenggara seperti yang telah
diuraikan diatas, tampaknya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan
dengan konsep pendidikan multikultural dan dapat dijadikan sebagai salah satu
pedoman dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih beradab dan humanis dalam
bingkai keanekaragaman budaya, suku dan agama. Budaya hanyalah simbol atau
tanda yang dapat memberi petunjuk dalam berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan
sosial, dalam interaksi dengan alam dan berinteraksi dengan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Cassirer
(Muliyana, 2008: 92) bahwa dalam bertindak manusia sering menggunakan
simbol, karena dengan simbol-simbol itu manusia akan berkreasi mengatasi
kesulitan hidup dan ketidaktahuannya. Sehingga Eco (2004) menyebut manusia
sebagai homo interpreticum karena kemampuannya dalam menafsir tanda atau
simbol. Menurut
Eco (2004) dunia ini penuh dengan tanda, tugas manusialah
menginterpretasikannya sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan.
Penutup
Demikian artikel ini, walaupun disadari sepenuhnya bahwa konten dari tulisan ini
masih sangat jauh dari harapan, tetapi paling tidak dampat menjadi entry point
bahwa dalam budaya lokal bersemayam beribu ribu bahkan berjuta kearifan yang
belum tereksplorasi secara maksimal untuk harmonisasi kehidupan umat manusia
yang berkelanjutan.
DAFTAR RUJUKAN
Aderlaepe, (2006), Analisis Semiotik Atas Lirik Kantola: Sastra
Lisan Daerah Muna, Kantor Bahasa Provinsi
Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional, Kendari.
Ardika, I Wayan,
(2007).
”Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitas dalam Refleksi Hubungan Antaretnis antara Kearifan
Lokal dengan Warga Cina di
Bali”. Dalam: Jurnal Lembaga Kebudayaan
UMM, Edisi Maret, Tahun 2007.
Basri, Ali Laode, (2010), Pemanfaatan Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Budaya Dalam
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Etnik Bajo. (Disertasi, tidak diterbitkan).
Udayana: Denpasar
Eco, Umberto, (2004), Tamasya Dalam Hiperealitas, Jalasutra, Yogyakarta.
Fakih,
Mansour, (2000), Masyarakat Sipil untuk
Transformasi Sosial: Pengelolaan Ideologi di Dunia LSM Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Mbete,
Aron Meko,(2006). Kazanah Budaya Lio-Ende. Pustaka Larasan, Yogyakarta
Mulyana,
Deddy. (2008).Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Pranowo,
Bambang, (1998). Islam Faaktual Antara
tradisi dan Relasi Kuasa, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Taalami, La Ode, (2011).Inventarisasi Sastra Daerah Sulawesi Tenggara. Kantor Bahasa
Sulawesi Tenggara.Kendari
Turi, La Ode, (2007). Esesnsi Kepemimpinan Bhinci-Bhinci Kuli. Khazana Nusantara
Zakot,
Francois R., 2008. Orang Bajo Suku
Pengembara Laut. Gramedia,
Jakarta
Komentar
Posting Komentar