DIMENSI INTEGRASI SOSIAL DALAM TRADISI LISAN KATOBA PADA MASARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA
DIMENSI
INTEGRASI SOSIAL DALAM TRADISI LISAN
KATOBA
PADA
MASARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA
LA
ODE ALI BASRI
Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Halu Oleo Kendari
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan mengkaji dan menganalisis dimensi integrasi sosial dalam tradisi katoba pada masyarakat Muna. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam,
pengamatan terlibat, studi dokumen dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan
melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tradisi katoba pada
masyarakat Muna memiliki dimensi integrasi sosial sebagai berikut; 1) tradisi katoba memberikan contoh model hasil interaksi sosial
dalam masyarakat multikultur, yakni model interaksi sosial aosiatif yang
ditandai oleh adanya akulturasi nilai-nilai ajaran Islam dan animisme dalam
budaya katoba; 2) tradisi katoba mengajarkan pemahaman tentang
harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat melaui nasihat-nasihat yang bermuatan
dososo (penyesalan), fekakodoho, fomiina, bhotusi dan hakunaasi;
3) pelaksanaan katoba merupakan
sarana merajut kebersamaaan, keakraban sesama warga dan solidaritas sosial. Dengan
demikian, maka tradisi katoba
merupakan modal sosial dan budaya dalam merawat dan memeliharan keutuhan
masyarakat Muna.
Kata
kunci: integrasi sosial, tradisi katoba dan
masyarakat Muna
1. Pendahuluan
Indonesia
merupakan negara majemuk yang memiliki kurang lebih 1.340-an suku bangsa dengan
keragaman budayanya masing-masing, yang tersebar di 17.000-an pulau, (BPS, 2010).
Fakta ini mengamanatkan suatu keharusan agar informasi mengenai keragaman
budaya suku-suku bangsa tersebut dihimpun, dikemas dan dikelola dengan
sebaik-baiknya. Sebab keberagaman laksana pisau bermata dua, yakni bisa menjadi
rahmat bila dikelola dengan baik, tetapi bila salah urus maka pluralitas bisa
menjadi sumber mala petaka. Pluralitas
yang salah kelola pernah menimpa bangsa-bangsa besar di dunia. Pada abad ke-20
yang silam, kita mengetahui dua negara bangsa yang ambruk yakni Yugoslavia dan
Uni Soviet. Yugoslavia bertahan 73 tahun dan Uni Soviet bertahan 69 tahun.
Kedua negara tersebut
adalah negara besar, di mana Yugoslavia merupakan motor penggerak Gerakkan Non
Blok, sedangkan Uni Soviet adalah pemimpin Blok Timur, dua kekuatan
politik-ekonomi-militer yang memainkan peran penting sepanjang abad ke-20,
selain Blok Barat. Akan tetapi kedua negara bangsa tersebut, saat ini
tinggal hidup dan dikenang dalam catatan
sejarah. Subhan (2014) menyatakan bahwa kedua bangsa besar itu ambruk bukan
karena serangan penakluk dari luar, tetapi karena keropos dari dalam bangsa itu
sendiri. Yugoslavia runtuh karena
konflik sosial-politik yang berkepanjangan, di mana setiap etnis dan agama di
Yugoslavia saling menyimpan dan menebar kebencian. Demikian pula dengan Uni
Soviet yang selalu menampilkan politik dominasi, hegemoni dan tirani mayoritas.
Bercermin pada nasib
Yugoslavia dan Uni Soviet, maka bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultur
sepatutnyalah memaknai pandangan
Sedyawati, (2014) bahwa
kebudayaan suku-suku bangsa nusantara harus diberi peluang untuk bertahan
hidup, serta mengakomodasikannya di dalam kancah pergaulan nasional bangsa Indonesia. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini,
kemajemukkan pernah menjadi pengikat kebersamaan. Hal itu antara lain
terjadi pada zaman pergerakan nasional
awal abad ke-20. Pada masa itu orang
Jawa, Sunda, Aceh, Batak, Lombok, Bugis, Buton, Muna, Minangkabau, Bali, Dayak
dan suku-suku lainnya di tanah air, menyadari akan keberagaman dan perbedaan
mereka. Namun menurut Subhan (2014), perbedaan itu justru menjadi tali-temali
yang saling mengikat. Etnis-etnis tersebut membawa benangnya sendiri-sendiri,
kemudian mereka merajutnya menjadi “baju besar” bernama Indonesia. Penganut
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan agama serta aliran
kepercayaan lainnya membawa titian masing-masing untuk dibangun menjadi
jembatan bersama. Para pendiri bangsa ini mendesain perbedaan agama, etnik,
bahasa dan budaya menjadi suatu puncak kesamaan sekaligus kebersamaan.
Namun indahnya
perbedaan itu kini hanyalah mozaik sejarah masa silam, karena kemajemukkan
telah menjadi sumbu konflik dan disintegrasi sosial. Mengikuti pemikiran
Kartono (2015) kemajukkan bangsa ini telah kehilangan intimitas organiknya,
sehingga relasi-relasi sosial yang terjadi di dalam masyarakat majemuk menjadi
runyam dan atomistik. Akibatnya kemajemukkan bukan menjadi kekuatan yang dibangun
untuk memperkokoh ikatan komunal, tetapi justru menjadi jembatan titian bagi
lahirnya konflik-konflik lain yang ramai kita saksikan di negeri kita
belakangan ini. Menurut Gufron (2016), ekspresi kemajemukkan bangsa ini telah
mencerminkan perilaku penyimpangan sosial
yang berimplikasi pada munculnya patologi dan disintegrasi sosial.
Pandangan ini setali tiga uang dengan pemikiraan Tilaar (2007), bahwa identitas
bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk tengah mengalami goncangan. Citra
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan cinta damai, tercoreng akibat eskalasi
konflik. Bangsa ini seakan-akan telah berubah menjadi bangsa yang beringas dan
kehilangan rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia.
Realitas ini,
mengamanatkan perlunya kosep kesadaran moral tentang pluralitas dan integrasi
sosial terus digali dan diformulasi untuk mewujudkan multikulturalisme
Indonesia. Konsep ini antara lain dapat digali dari akar budaya lokal
masyarakat Indonesia, karena di dalam budaya lokal terdapat sejumlah kearifan
yang menjadi pegangan hidup masyarakat pendukunganya dalam mewujdukan integrasi
dan harmoni sosial. Kajian tentang dimensi integrasi dan harmoni sosial dalam
budaya tradisional, antara lain telah dilakukan oleh Garna (1993) terhadap orang Baduy, hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa orang Baduy memiliki perangkat pengawasan sosial yang disebut
pikukuh,
yakni seperangkat aturan yang mengatur pola hidup manusia dalam
hubungannya dengan sesama, Tuhan dan lingkungan. Kajian lain juga pernah
dilakukan oleh Martodirdjo (1991), terhadap orang
Tugutil di Halmahera. Temuan kajian itu menunjukkan bahwa orang Tugutil
memiliki pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang didasarkan pada tiga
konsep kesatuan hidup yakni kesatuan rumah (o
tau), kesatuan pemukiman (o gogere), dan
kesatuan hutan (o hinguna). Ketiga
kesatuan tersebut memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia. Oleh karen
itu, ketiga kesatuan tersebut harus diberlakukan dengan adil sebagaimana
memperlakukan manusia itu sendiri.
Dalam kontek masyarakat
Sulawesi Tenggara, kajian terhadap dimensi integrasi sosial dalam budaya
tradisional juga pernal dilakukan oleh Tarimana (1989) dan Basri, et al (2017).
Tarimana (1998) dalam kajiannya terhadap masyarakat Tolaki menyatakan bahwa masyarakat
Tolaki memiliki kalo o sara (lima
lingkaran adat) yang menjadi pokok-pokok pedoman dan pandangan hidup masyarakat
Tolaki. Kelima pokok-pokok adat tersebut adalah (1) adat pemerintahan (sara wonua); (2) adat persatuan dan
kesatuan atau kekeluargaan (sara mbedulu);
(3) adat aktivitas keagamaan dan kepercayaan (sara mbe’ombu); (4) adat pekerjaan yang berhubungan dengan
profesionalisme kerja (sara mandurahia);
(5) adat sistem mata pencaharian terdiri dari sara monda’u (sistem perladangan), sara montapoha (sistem perkebunan/bersawah), sara mombulai (sistem peternakan), sara melumbu (tata cara berburu), dan sara meoti-oti (tata cara penangkapan ikan). Sementara Basri, et al
(2017) dalam kajiannya terhadap masyarakat Muna menyatakan bahwa dalam budaya
tradisional Muna terdapat nilai-nilai multikulturalisme. Temuan-temuan dalam
hasil kajian di atas, semakin meneguhkan bahwa dalam budaya tradisional,
termasuk budaya tradisional masyarakat Muna, memiliki sejumlah konsep integrasi
sosial untuk mewujudkan harmoni hidup umat manusia yang berkelanjutan. Konsep
yang demikian itu, di antaranya dapat dikaji dalam tradisi lisan katoba.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
di Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Teknik pengumpulan data yang digunakan, adalah: (1)
pengamatan terlibat; (2) wawancara mendalam; (3) diskusi terfokus dan studi
dokumen. Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, melalui langkah-langkah
sebagai berikut: (1) reduksi data, yakni menyusun satuan-satuan seluruh data
yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi
kelompok terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian
dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat
abstraksi dan menyusun satuan-satuan data, (2) display yakni penyajian data
melalui proses kategorisasi dan pengelompokkan data sesuai unit analisis
sehingga data bisa menjadi lebih baik,
menyusun hubungan antar kategori, membandingkan kategori data yang satu
dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap
hubungan data tersebut, (3) penarikan kesimpulan berdasarkan hasil interpretasi
data yang ditunjang oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten.
3.
Hasil dan Pembahasan
A.
Dimensi Integrasi Sosial dalam Tradisi Lisan Katoba
Integrasi
sosial adalah penyatuan unsur-unsur sosial dalam masyarakat menjadi satu
kesatuan yang utuh. Garna (1996) menyatakan integrasi sosial merupakan suatu
proses konsensus bersama suatu masyarakat untuk menciptakan tertib sosial.
Melalui konsesus tersebut masyarakat menciptakan identitas bersama berupa
norma-norma sebagai pedoman dan pengarah dalam bertingkahlaku. Norma-norma
tersebut dipelihara dan dilestarikan melalui pelembagaan baik secara sosial
maupun budaya di dalam masyarakat. Garna (1996) menyatakan bahwa integrasi
sosial dicirikan oleh berwujudnya keserasian antara norma dengan berbagai
tingkah laku manusia dalam berbagai situasi dan berwujudnya tingkah kepatuhan
yang tinggi antara norma-norma dengan tingkah laku warga masyarakat. Manakalah
tingkah laku masyarakat tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, maka
masyarakat tersebut sesungguhnya sedang mengalami anomali. Sehingga masyarakat menciptakan
saluran-saluran mekanisme kontrol untuk menjaga
dan memelihara kesesuaian atau keselarasan antara tingkah laku warga
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Mekanisme kontrol
tersebut di ejawantahkan dalam praktik-praktik tradisi berupa adat istiadat,
ritual, mitologi, tabo dan instrumen-instrumen budaya lokal lainnya, di manapun
masyarakat itu berada, termasuk masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara.
Pada
masyarakat Muna salah satu mekanisme kontrol yang diciptakan untuk menjaga
keselarasan antara tingkah laku dengan
norma-norma yang berlaku adalah tradisi katoba,
yakni suatu tradisi penyucian diri melalui prosesi pertobatan yang
diterapkan oleh para orang tua kepada
anak-anak mereka yang telah memasuki masa maturity
atau masa remaja, yakni suatu
proses perkembangan ketika anak mengalami transisi untuk menuju kematangan
sebelum memasuki usia kedewasaannya. Katoba
adalah salah satu ritus peralihan pada masyarakat Muna yang di dalam
pelaksanaanya mengandung dimensi-dimensi integrasi sosial sebagai berikut.
A.
Tradisi Katoba mencontohkan Model
Hasil Interaksi sosial yang asosiatif dalam Masyarakat Multikultur
Tradisi katoba merupakan salah satu produk
budaya Muna yang banyak mendapat pengaruh Islam, sehingga dalam praktiknya
tradisi katoba banyak mengadopsi
ajaran-ajaran agama Islam, walaupun tampaknya sangat singkretis. Wujud
singkretis tersebut tampak pada adanya akulturasi budaya islam dengan budaya
leluhur masyarakat Muna, melalui pengakomodasian nilai-nilai islam dan tradisi
dalam pelaksanan katoba. Disatu sisi
pelaksanaan katoba mengadopsi nilai-nilai
ajaran islam seperti berwudhu, mengucapkan dua kalimat syahadat, mentauhidkan
Allah SWT, mengakui Muhammad SAW sebagai nabi utusan Allah, melafalkan doa-doa
yang ada di dalam Al-Qur’an kitap suci umat islam, tetapi pada sisi yang lain
dalam pelaksanaan katoba juga masih
mempraktekkan kebiasaan leluhur masyarakat Muna yang bercorak animisme, seperti
pembakaran kemenyan pada saat membaca doa. Selain itu, busana yang kenakkan
oleh peserta katoba adalah pakaian
adat Muna, bukan busana muslim atau muslimah, materi nasihat-nasihat dalam katoba juga bersumber dari ajaran
leluhur masyarakat Muna, bukan diadopsi dari Al-Qur’an seperti lazimya para ustadz
dan ustadzah memberikan ceramah agama.
Mencermati pelaksanaan katoba yang bersifat kolaboratif dan akomodatif seperti yang telah
dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan timbal balik antara islam
dan tradisi lokal masyarakat Muna terjadi secara asosiatif sehingga tidak
terjadi benturan kebudayaan. Antara Islam dan budaya lokal Muna tidak saling
membunuh tetapi saling melengkapi. Hal ini menunjukkan bahwa leluhur masyarakat
Muna sangat lentur dalam menyikapi suatu perbedaan. Bahkan para leluhur Muna mendesain perbedaan
tersebut menjadi kebersamaan sebagaimana yang tampak dalam tradisi katoba yang memadukan nilai-nilai islam,
animisme dan Munanisme yang mana tradisi tersebut masih tetap hidup dan
dipraktekan oleh masyarakat Muna secara turun-temurun hingga saat ini.
Dalam tataran praksis sosial, tradisi katoba memberikan suatu pemahaman kepada
kita semua, agar seyogyanya bersikap cair, lentur dan akomodatif dalam
menyikapi perbedaan dan keberagaman. Sehingga perbedaan dan keberagaman
tersebut menjadi modal yang dapat memperkuat identitas komunal, bukan
sebaliknya menjadi sumbu konflik komunal. Fay (2002) menyatakan bahwa
terjadinya konflik disebabkan oleh adanya kelompok-kelompok yang terpisah
terjebak di dalam dunia terpisah dan tidak mampu memahami atau berbagai atau
berkomunikasi dengan orang lain dari kelompok lain. Oleh karena itu, Waston
dalam Buchari (2014) berpandangan bahwa dalam masyarakat multikultur semua
manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan kesetaraan. Mereka yang mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan di antara orang-orang dan beraneka
macam kebudayaan dan sub kultur, maka mereka memiliki kepekaan multikultural, Fay
(2002).
B.
Nasihat-Nasihat Katoba Megajarkan
Harmonisasi Sosial
` Dalam kacamata
rasionalitas, prosesi ritual katoba (upacara
pertobatan) untuk menyucikan diri anak-anak yang memasuki usia remaja, tampak
kontradiktif dengan realitas sosial dan praktik keagamaan yang berlaku dalam
masyarakat Muna. Dalam ajaran agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat
Muna, dinyatakan bahwa anak-anak yang belum baliq atau belum dewasa tidak
berdosa apa bila melakukan perbuatan menyimpang sehingga tidak perlu di katoba (tobat) untuk menyucikan dirinya.
Akan tetapi oleh masyarakat Muna prosesi katoba
justru diterapkan kepada anak-anak, tatkala mereka memasuki masa transisi dari
anak-anak menuju dewasa. Dalam pandangan masyarakat Muna ritual katoba ini dilaksanakan pada saat
anak-anak memasuki usia remaja, karena pada usia ini merupakan fase awal bagi seseorang untuk
menjalani kehidupan yang sebenarnya. sehingga fase ini menjadi saat yang sangat
tepat untuk meletakan dasar-dasar kehidupan secara baik dan benar. Bahkan para
orang tua di Muna menganggap masa peralihan dari anak-anak ke dewasa merupakan
fase kelahiran kedua, karena anak-anak mereka akan dibersihkan segala
dosa-dosanya melalui prosesi katoba. Sehingga
pada saat menjalani kehidupan selanjutnya, anak-anak mereka dalam keadaan
bersih, suci tanpa dosa.
Oleh karena itu,
anak-anak harus dikatoba dan
ditanamkan nilai-nilai budaya Muna untuk menjadi pegangan mereka dalam
menjalani kehidupan selanjutnya, sebab katoba
mengajarkan kepada individu-individu agar tingkah laku dan tindakanya
senantiasa terkonform dengan norma-norma dan kebiasaan sosial yang berlaku
dalam masyarakat Muna. Hal inilah yang menyebabkan prosesi katoba dilaksanakan pada anak-anak yang memasuki usia remaja, karena usia ini merupakan fase
peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Berikut ini adalah ajaran pokok katoba yang mengandung dimensi integrasi
sosial.
1.
Dososo (Penyesalan)
Dalam pandangan
masyarakat Muna letak kesalahan pada diri manusia ada tiga yakni dukuno lalo (niat/pikiran), feeilino podiu (tindakan atau perbuatan)
dan parapuno pogau (tutur kata). Oleh karena itu dalam katoba diajarkan agar senantiasa menata hati dan pikiran,
mengontrol kata dan perbuatan. Apa bila manusia Muna melakukan kesalahan atau
kekeliruan pada aspek-aspek tersebut, maka hendaklah ia segera menyesali
kesalahan tersebut, dengan menyampaikan permohonan maaf baik dilakukan secara
langsung maupun melalui arbitrasi atau perantaraan orang lain.
2.
Fekakodoho (Menjauhkan)
Dalam
ritual katoba juga diajarkan untuk
menjauhi semua hal yang bertentangan dengan norma-norma dan adat kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat Muna, yang dapat merugikan diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitar. Sehingga ajaran fekakodoho ditopang lagi dengan ajaran berikutnya yakni fomiina (menidakkan).
3.
Fomiina (Menidakkan)
Fomiina
(menidakkan)
diajarkan kepada anak-anak peserta katoba
agar mereka mengamalkan dan melestarikan salah satu model mekanisme kontrol
sosial dalam masyarakat Muna yakni falia (pantang
larang atau tabo). Falia adalah pantang larang yang
senantiasa dijunjung tinggi oleh masyarakat Muna dalam melaksanakan aktivitas keseharian
karena diyakini sebagai sesuatu yang benar, bila dilanggar akan mendatangkan balaa (keburukan) bagi yang tidak
mengindahkannya. Dalam kehidupan masyarakat Muna falia berfungsi sebagai pengontrol bagi individu dan bagi masyarakat Muna secara kolektif agar
tidak bertabiat buruk, tidak melakukan perbuatan yang merusak lingkungan, tidak melakukan perbuatan
yang melanggar perintah Tuhan, tidak
melanggar norma-norma etika dan kesusilaan. Falia
mengatur hal-hal yang yang berkaitan dengan kelangsungan hubungan sesama
manusia, kelestarian ekosistem yang berkelanjutan dan kelangsungan hubungan
manusia dengan Tuhan. Dalam pandangan masyarakat Muna falia merupakan hukum karma, jika dilanggar maka karmanya akan menimpa orang yang melanggarnya
atau keluarga dan keturunannya kapan dan di mana saja.
4.
Bhotuki (Putuskan)
Bhotuki
adalah
nasihat katoba yang mengajarkan
tentang satunya pikiran, kata dan perbuatan dan keteguhan dalam pendirian.
Manusia Muna diajarkan untuk bhotuki (putuskan)
bahwa yang salah itu salah dan yang benar itu benar.
5.
Koise melampai hakunaasi (Jangan mengambil
sesuatu yang bukan hak)
Dalam pandangan
masyarakat Muna kekayaan tidak disebabkan harta yang melimpah. Namun kekayaan
yang sebenarnya adalah kekayaan yang terdapat pada jiwa, yakni jiwa yang selalu
menerima dengan lapang dada terhadap setiap hasil usaha yang diperolehnya. Oleh
karena itu dalam katoba diajarkan
tentang hakunaasi (hak naas yang
bukan miliki kita) agar dalam mengumpul harta tidak dilakukan dengan cara-cara
yang kebablasan, melakukan tipu daya, memanipulasi, dan mengelabuhi orang-orang
yang lemah. Berikut adalah ajaran-ajaran katoba
tentang hakunaasi.
1.
Setampu deu atawa bulawa ntinilako, setangke karo-roo atawa intani manikamu,
satokano kohakuno panaembali damalae intaidi ini.(Sebesar
lubang jarum atau seperti emas batangan, setangkai daun sirih atau untaian
intan berlian, kalau bukan milik kita tidak boleh diambil). Melalui katoba manusia Muna diajari supaya tidak kalima-lima (panjang tangan) agar tidak mengambil hak milik orang
lain, karena kalmia-lima merupakan
perilaku menyimpang.
2. Koe
mekangkalahi kokarawuno toneano (Jangan melangkahi bumbungan/pusaran ubi
talas orang lain). Ungakapan ini sangat erat kaitannya dengan suasana tertib
sosial, karena ubi talas dalam masyarakat Muna merupakan salah satu jenis
makanan tradisional yang lezat, namun tanaman ini membutuhkan perhatian dan
perawatan yang lebih untuk memperoleh hasil yang baik. Supaya tanaman ini bisa
produktif dengan baik, maka tanah pada bagian akar tanaman ini harus senantiasa
digemburkan hingga menyerupai pusaran. Bila diinjak atau dilewati akan
mengganggu kelangsungan produksi tanaman ini, sehingga para petani bisa saja
marah kalau tanaman mereka ini diganggu oleh manusia atau binatang peliharaan
manusia. Oleh karena itu dalam katoba manusia Muna diajarkan untuk
menghargai dan menghormati apa saja yang telah menjadi kepemilikan orang lain
yang dikiaskan pada pusaran ubi talas. Dalam nasihat katoba pun diajarkan koe
kaempa-empa nekokafembulano (Jangan merusak barang, tanaman, dan
binantang peliharaan orang lain).
3. Koe
mekangkalahi kogholeno labuno (Jangan melangkahi pucuk tanaman labu orang
lain). Nasihat katoba yang
dipersonifikasikan pada tanaman labu mengandung makna tidak menyepelehkan orang
lain dan perlunya memaksimalkan potensi diri. Labu adalah salah satu jenis
tumbuhan merambat berperawakan kecil, namun demikian tanaman tersebut
menghasilkan buah yang besar-besar. Sederhananya labu saja yang batangnya kecil
bisa memproduksi buah yang besar, apatah lagi manusia yang dikaruniai dengan
berbagai kelebihan. Nasihat katoba ini
erat pula kaitannya dengan realitas kehidupan sosial kemasyarakatan, di mana
sering terjadi yang kuat memandang remeh yang lemah, yang mayoritas mendominasi
bahkan menguasai yang minoritas.
Mencermati
beberapa ajaran pokok dalan tradisi katoba
di atas, maka tergambar bahwa tradisi katoba
mengandung dimensi yang bermuarah pada terwujudnya suatu soliditas dan
keutuhan suatu masyarakat. Kartono (2015) menyatakan bahwa terjadinya
disintegrasi sosial dalam masyarakat disebabkan oleh adanya patologi sosial
berupa tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas
lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup
rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, hukum formal dan adat kebiasaan lainnya
yang berlaku dalam masyarakat. Sementara dalam ritual tradisi katoba diajarkan untuk menjunjung tinggi
norma-norma dan adat kebiasaan, atau mengikuti pemikiran Endraswara (2016) tradisi katoba mengajarkan cara menjaga emosi
sosial.
C.
Katoba
Merupakan Ajang Kebersamaan dan Ekspresi Solidaritas Sosial
Ritual taradisi katoba dapat dilaksanakan
sendiri-sendiri oleh warga masyarakat Muna di rumahnya masing masing dan bisa
pula dilaksanakan pada salah satu rumah warga. Namun umumnya katoba selalu
diselenggarakan pada salah satu rumah warga, yakni semua anak yang akan dikatoba dikumpul pada salah satu rumah warga sehingga
pelaksanaanya berlangsung meriah, sebagaimana tampak pada gambar di bawah ini.
Gambar: Suasana Pelaksanaan Ritual Katoba
Dari
gambar di atas, selain menunjukkan kemeriahan prosesi pelaksanaan katoba juga mengambarkan adanya semangat
kebersamaan dan kekompakkan warga masyarakat. Warga desa baik kerabat maupun
bukan kerabat pihak-pihak penyelenggara katoba,
mereka datang berbondong-bondong untuk menyaksikan
pelaksanaan katoba sekaligus memberikan
doa restu kepada anak-anak yang dikatoba agar
bisa menjalani kehidupan mereka sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan
mendapat rahmat dari Kawasano Ompu (Tuhan
Allah Swt). Para warga umumnya datang tanpa melalui undangan tertulis, tetapi hanya
dengan undangan lisan, atau mendengar berita bahwa ada pelaksanaan katoba di rumah salah seorang warga,
atau bahkan hanya sebatas mendengar bunyi gong warga sudah berdatangan di
tempat penyelenggaraan acara katoba.
Dalam pelaksanaan katoba warga yang datang tidak hanya
datang dengan tangan kosong tetapi mereka datang membawa buah tangan sesuai
dengan kemampuan dan kerelaan masing-masing. Ada yang bawah telur, ayam,
jagung, minyak goren, beras, gula, kayu bakar, dan lain-lain tanpa dimintai
oleh tuan rumah atau diperintah oleh pihak lain. Selain itu, antara tuan rumah
dengan warga lain yang anaknya menjadi pesarta dalam ritual katoba tidak saling membebani. Umumnya
segala biaya dan kebutuhan yang diperlukan dalam ritual tersebut ditanggung bersama-sama. Nuansa kebersamaan, keakraban dan
kedermawanan sosial yang demikian prominensia ini tentunya merupakan modal
sosial budaya dalam merawat, menjaga keutuhan dan eksistensi masyarakat Muna.
4.Simpulan
Tradisi katoba pada masyarakat Muna mengandung dimensi-dimensi
integrasi sosial sebagai berikut.
1. Adanya interaksi sosial masyarakat Muna yang
bersifat asosiatif, yang ditandai dengan adanya akulturasi antara
nilai-nilai ajaran Islam dan animisme dalam budaya masyarakat Muna.
2. Ajaran-ajaran dalam nasihat katoba menekankan pada harmonisasi dalam kehidupan masyarakat
secara berkelanjutan, melaui nasihat-nasihat yang bermuatan dososo (penyesalan), fekakodoho (menjauhi), fomiina (menidakkan), bhotusi (putuskan) dan hakunaasi (hak naas).
3. Pelaksanaan ritual katoba merupakan sarana mempererat dan memupuk kebersamaan, keakraban
dan mewujudkan solidaritas sosial sesama warga masyarakat Muna.
Daftar
Pustaka
Basri, Ali.,Ode,
La, Aso, La, Momo, H.,A, Mudana, Wayan, I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, &
Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional
Culture .Asian Culture and History,
9(1), 33-39.
BPS.
(2010). Kewarganegaraan-sukubangsa-gama-bahasa. Diakses 19 Oktober
2017, dari http://demografi.bps.go.id.
Buchari,
Astuti, Sri. (2014). Kebangkitan
Etnis Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Endraswara,
Suwardi. (2016). Berpikir Positif Orang
Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Fay, Brian. (2006). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.Yogyakarta: Jendela
Garna,
K. Judistira. (1993). Tradisi
Transformasi Modernisasi dan Tantangan Masa Depan di Nusantara. Bandung:
Primaco Akademika
______,.
(1996). Ilmu-ilmu Sosial Dasar Konsep dan
Posisi. Bandung: PPs Unpad.
Ghufron,
F. (2016). Ekspresi Keberagamaan di Era
Milinium, Kemanusiaan Keragaman dan Kewarganegaraan. Yogyakarta: IRCiSoD.
Kartono,
Kartini. (2015). Patologi Sosial. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Martodirdjo,
S., Haryo. (1991). Orang Tugutil di
Halmahera Struktur dan Dinamika Sosial Masyarakat Penghuni Hutan. (Disertasi
tidak diterbitkan) Universitas Pandjdjaran, Bandung.
Sedyawati,
Edi. (2014). Kebudayaan di Nusantara dari
Keris Tor-tor Sampai Industri Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Subhan,
M. (2014). Bangsa Plural Tidak Boleh Keropos. Dalam: Tinjauan Kompas Menatap Indonesia 2014 Tantangan Prospek Politik dan
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Tarimana,
Rauf, A. (1989). Kebudayaan Tolaki.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tilaar,
R.A.H. (2007). Mengindonesia Etnisitas
dan Identitas Bangsa Indonesia Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Komentar
Posting Komentar