MULTIKULTURALILSME
DALAM TRADISI LISAN ORANG BAJO**
LA ODE ALI BASRI
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo
Kendari
E-mail: basri.uho74@gmail.com
Abstrak
Makalah ini
mengulas multikulturalisme yang terkandung dalam tradisi lisan Orang Bajo. Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, studi
dokumen dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan
melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam tradisi lisan orang Bajo adalah
sebagai berikut; 1) filsafat etika orang Bajo yakni tahang diri (tahan diri) dan ngatonang
diri (tahu diri). Tahang diri adalah
konsep etika berperilaku orang Bajo bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia orang Bajo harus menahan diri dari
perilaku-perilaku meyimpang. Ngatonang
diri mengandung
makna bahwa setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan
kelebihan yang ada pada dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia
biasa yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan Penguasa laut; 2) tradisi falia (pantang larang) antara lain falia membuat jengkel
tetangga dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di
halaman rumahnya dan falia membunuh
binatang darat seperti babi, jonga dan
binatang darat lainnya yang turun ke laut; 3) tradisi resolusi konflik Orang
Bajo, berupa model penyelesaiaan konflik melalui sistem arbitrasi yakni bila
ada pihak-pihak yang berkonflik, maka harus ada pihak
ketiga yang bertindak mendamaikan (mediator).
Kata Kunci: tradisi lisan, multikulturalisme dan orang Bajo
** Makalah disajikan pada Konggres Internasional Bahasa Daerah
Maluku 7-8/9/2017
Pendahuluan
Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi lisan sendiri-sendiri yang menjadi ciri khas sekaligus keunikkan atau
karakteristik pada masyarakat tersebut. Keanekaragaman tersebut merupakan potensi sosial yang dapat
membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing suku bangsa, serta merupakan bagian penting
bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu,
keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari
warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Menurut Basri (2017) sebagai suatu warisan dan tradisi yang lahir dalam
suatu kelompok masyarakat, tradisi lisan berfungsi sebagai media informasi tentang sejumlah kesan
atau pandangan subjektif kolektif terhadap sesuatu yang penting,dan khas,
tentang masyarakat pemilik tradisi tersebut. Sementara Willems (Arman, 2011)
menyatakan bahwa tradisi lisan merupakan salah satu cara masyarakat
menyampaikan sejarah lisan, kesusasteraan, pandangan dan pengetahuan lain
menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan. Tradisi lisan mengandung fakta budaya berupa
sistem religi, sistem genealogi, kosmologi dan kosmogoni, sejarah, filsafat,
etika, moral, sistem pengetahuan dan kaidah-kaidah kebahasaan dan kesusastraan,
(Sedyawati, 1996).
Temuan dari hasil-hasil
kajin di atas semakin menegaskan bahwa di dalam tradisi lisan, termasuk tradisi
lisan yang terdapat pada masyarakat Bajo mengandung pesan-pesan moral dan
perangkat-perangkat etika dan tata susila yang dapat membantu
menegakkan harmoni hidup bersama sampai ke masa yang akan datang, dalam bingkai prinsip-prinsip mulltikulturalisme. Multikulturalisme adalah
sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan
baik secara individual maupun secara kolektif (Fay, 2006). Multikulturalisme kompleksitas
tentang gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh seseorang
atau sekelompok orang yang majemuk baik dari segi etnis, budaya, agama dan
sebagainya, tetapi individu atau kelompok individu tersebut mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat
keberagaman dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan keberagaman atau kemajemukkan
tersebut (Basri,et al, 2017). Sementara itu, Lubis (2006) menyatakan bahwa multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang,
serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Konsep
multikulturalisme yang demikian itu, sesungguhnya jauh-jauh hari telah
diajarkan oleh leluhur-lehur kita secara oral sebagai mana kita bisa temui
dalam berbagai tradisi lisan masyarakat nusantara, termasuk masyarakat Bajo di
Sulawesi Tenggara. Orang Bajo di Sulawesi Tenggara memiliki tradisi lisan
tentang bagaimana mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Selain itu, orang
Bajo juga memiliki tradisi lisan yang mengandung
konsep bagaimana menyikapi perbedaan dengan penuh toleran dan semangat egaliter,
serta konsepsi tentang tata cara menghargai dan merayakan perbedaan dalam
kesederajatan. Untuk itu, tulisan ini berusaha mencoba menggali tradisi lisan
orang Bajo yang dipandang memiliki relevansi dengan konsep multikulturalisme,
untuk harmonisasi kehidupan umat manusia yang berkelanjutan.
Metode
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
di Desa Bungin Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan,
Sulawesi Tenggara. Informan dalam penelitian ini adalah para tokoh masyarakat yang terdiri dari tetua adat, tokoh-tokoh pemuda, dan warga
masyarakat lainnya. Para informan tersebut ditentukan
secara purposive. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui: (1) pengamatan terlibat; yakni terlibat langsung dalam aktivitas para
informan yang memiliki relevansi dengan fokus kajian, sekaligus mengamati
secara langsung aktivitas masyarakat mereka, (2) melakukan wawancara mendalam kepada informan, khususnya tokoh-tokoh
masyarakat baik tokoh agama, tokoh
adat, tokoh pemuda dan warga masyarakat
lainnya mengenai gagasan, pengalaman, pengetahuan
informan tentang berbagai
hal yang berkaitan dengan tradisi lisan orang Bajo, (3) melakukan
studi kepustakaan terutama kepustakaan yang terkait dengan budaya lokal orang Bajo.
Setelah
data-data terkumpul, maka data-data tersebut dinalisis secara deskriptif-kualitatif melalui model Milles dan
Huberman (1991) dengan langkah-langkah sebagai berikut; (1)
reduksi data yakni menyusun satuan-satuan seluruh data yang
terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi
terfokus. Data-data tersebut dibagi
satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian dilakukan reduksi data
guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat transliterasi dan
abstraksi serta menyusun satuan-satuan data;
(2) penyajian data yakni melakukan
kategorisasi data dan pengelompokkannya secara
lebih baik,
menyusun hubungan antarkategori, membandingkan kategori data yang satu dengan
kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap
hubungan data tersebut; dan (3) penarikan kesimpulan yakni memberikan interpretasi dan hubungan antarkategori
data yang sudah dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna dan kesimpulannya.
Hasil
dan Pembahasan
1. Multikulturalisme
dalam Filsafat Etika Orang Bajo
Orang Bajo memiliki ajaran moral yang sarat
dengan muatan-muatan pemikiran multikultural. Ajaran moral tersebut merupakan
landasan filsafat etika orang Bajo yang disebut
dengan ajaran empe diri (4 Diri),
yakni tahang
diri (Tahan
Diri), ngatonang diri (Tahu Diri), angga’
diri (Harga Diri) dan matappa diri (Percaya Diri). Dari empat ajaran filsafat
etika di atas, dua diantaranya merupakan ajaran moral yang mengandung semangat
multikulturalisme, yakni tahang diri dan
ngatonang diri. Tahang diri (tahan
diri) adalah suatu ajaran moral orang Bajo yang mengandung makna bahwa dalam menjalani kehidupan
di dunia orang Bajo harus menahan diri dari perilaku-perilaku meyimpang.
Misalnya dalam mencari nafkah, orang Bajo tidak boleh
rakus, tidak boleh mengambil hak
orang lain, tidak boleh menghalalkan segala cara, apalagi
sampai merusak hubungan dengan
sesama manusia, dengan lingkungan laut dan dengan Mbo
Ma’di Lao (Dewa/penguasa laut). Laut sebagai tempat mencari nafkah, harus senantiasa
dijaga dan dipelihara, karena laut
selain sebagai sumber kehidupan yang utama, laut juga merupan masa depan anak
cucu mereka.
Ngatonang
diri (tahu diri) mengandung makna bahwa
setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada
dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia biasa yang tidak bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan
Penguasa laut. Karena itu, setiap individu harus memelihara
hubungn yang baik dengan sesama, hubungan baik dengan Tuhan dan dengan alam
sekitar termasuk semua mahluk yang ada di dalamnya. Sesama umat manusia umumnya, dan sesama orang Bajo khususnya harus saling
menghargai, saling mempercayai dan
saling melindungi.
Pemahaman
tentang ngatonang diri dan tahang
diri senantiasa terpatri dalam jiwa-jiwa orang Bajo, yang ditanamkan atau diwariskan secara oral
oleh generasi tua kepada generasi muda
Bajo. Dalam
pandangan Orang Bajo, prinsip-prinsip sikap humanis terhadap sesama manusia telah diajarkan oleh nenek moyang mereka
secara turun-temurun.
Prinsip-prinsip tersebut adalah sippa tappa (saling percaya), sikaada (saling menerima keadaan)
dan bahu membahu atau situlu
tulu. Maksudnya, sippa tappa
adalah sesama anggota kelompok
masyarakat harus saling mempercayai bahwa mereka tidak
akan saling membohongi, tidak akan saling mencurigai. Sikaada yakni mereka harus saling
memahami dan menerima keadaan bahwa mereka memiliki perbedaan sifat,
memiliki kekurangan dan kelebihan sehingga harus mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan. Situlu-tulu maksudnya
mereka harus bahu membahu, tolong menolong karena mereka senasib dan
sepenanggungan yakni mengadu nasib di laut yang penuh dengan tantangan dan
risiko, serta mereka telah menjadi satu kesatuan sosial yakni komunitas atau masyarakat Bajo.
Kesadaran orang Bajo tentang kehidupan
kolektif, telah mengubah kelakuan individu menjadi kelakuan sosial, sehingga
tercipta proses interelasi yang teratur antarindividu dalam kehidupan kolektif tersebut. Kesadaran
ini melahirkan kesalehan sosial, yang terefleksi dari kesadaran kolektif untuk menerapkan prinsip situlu-tulu, sikaada dan sippatappa, serta ajaran
filsafat sosial dan etika lainnya yang hingga saat ini masih dipegang teguh
oleh masyarakat Bajo. Pola tingkah
laku seperti ini bukan hanya semata-mata sebagai upaya mengejar kebutuhan
individu, tetapi juga lebih pada uapaya melanggengkan keberadaan kelompok,
sebagai konsekuensi dari persetujuan-persetujuan kontraktual di antara mereka
dalam membangun jalinan kerjasama.
2.
Multikulturalisme dalam Pamali (Pantang-Larang)
Orang Bajo
Salah
satu
ajaran moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Bajo
adalah ajaran pemali membuat jengkel tetangga. Prinsip seperti ini dapat
dicermati dalam pandangan orang Bajo bahwa pemali
membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit
kerang dalam perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya.
Menurut Orang Bajo falsafah di atas
mengandung makna “perlunya memelihara keutuhan masyarakat, dan keutuhan
masyarakat itu bergantung kepada adab
kesopanan dan ketinggian budi pekerti.
Dengan ajaran seperti itu orang Bajo memandang dan memperlakukan tetangganya
dengan baik, sebab sudah menjadi kelaziman manusia yang hidup di muka bumi ini
saling memerlukan antara satu dengan yang
lainnya. Mereka berpandangan bahwa orang Bajo berkewajiban mengekalkan
hubungan baik dengan tetangga demi mewujudkan kehidupan setempat yang aman dan
harmoni.
Ungkapan
bahwa ”janganlah membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam
perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya”, mengisyaratkan bahwa kulit
kerang itu kasar, berduri dan tajam. Jika diinjak dapat menyebabkan kaki
terluka, atau membuat perasaan tidak nyaman jika diduduki, sedangkan perahu
adalah simbol dari jantung kehidupan orang Bajo. Untuk itu orang Bajo tidak
boleh saling melukai perasaan, merasa iri dan dengki dengan sesamanya. Orang
Bajo mendirikan rumah-rumah panggung di atas permukaan air laut, dengan
tiang-tiang ditancapkan ke dalam pasir. Umumnya rumah mereka tidak dilengkapi
dengan kamar-kamar atau dipetak dengan dinding-dinding kamar yang memadai.
Biasanya hanya kamar keluarga (suami-istri) yang dipetak, selebihnya tidak
ubahnya sebuah aula besar. Jika pintunya dibuka akan kelihatan mulai dari ruang
depan sampai ke dapur.
Sementara itu, lantai
rumah sama tingginya atau setara dengan rangakaian papan yang berfungsi sebagai
pekarangan dan jalan yang menghubungkan rumah warga yang satu dengan warga yang
lainnya. Hal inilah yang melatari mengapa filsafat etika dan moral orang Bajo
mengajarkan agar menjaga perasaan tetangga dengan tidak menaburkan atau
menyimpan pasir di pekarangan orang lain. Sebab butir-butir pasir adalah salah
satu anasir yang mudah diterbangkan angin
dan jika sampai masuk ke dalam
rumah tentu akan mengotori rumah dan perabotnya sehingga dapat mengganggu
kenyamanan penghuni rumah bahkan dapat mengganggu jalannya proses-proses prokreasi
dalam rumah tangga.
Menurut Masyarakat
Bajo tetangga adalah orang yang tinggal
paling dekat dengan rumah mereka, dan yang tinggal dalam lingkungan jarak 40
buah rumah daripada rumah mereka. Segala perkara yang berlaku terlebih dulu diketahui
oleh tetangga. Karena itu, tetangga
adalah orang paling dekat untuk memohon pertolongan ketika ditimpa
musibah seperti kebakaran, kecurian atau kematian. Kekuatan hubungan
ketetanggaan yang sempurna dan harmoni mengukuhkan ikatan persaudaraan dan
kasih sayang sesama orang Bajo, yang kadangkala melebihi daripada keluarga
sendiri.
Untuk itu, sikap yang harus ditumbuh-kembangkan
dalam kehidupan bertetangga adalah tiap-tiap individu mengamalkan dan
menghayati sikap berlapang dada, mengargai perbedaan pandangan, saling
memahami, meningkatkan kesabaran, bertukar pendapat, mencari titik persamaan
dan mengeratkan hubungan yang renggang dengan penuh hikmah serta kasih-sayang.
Dalam konsepsi orang Bajo impian mempunyai tetangga yang baik tidak akan
terlaksana jika kita belum menjadi tetangga yang baik terlebih dulu. Dengan adab kesopanan dan keluhuran budi
pekerti ini menjadikan seseorang itu dihormati dan harmoni dalam masyarakat pun
dapat terjamin.
Masyarakat Bajo merupakan salah satu masyarakat
yang senantiasa hidup tentram dan damai di laut. Tidak ada sengketa dan
permusuhan sesama mereka. Menurut orang Bajo binatang saja ada yang tidak boleh
dibunuh atau diganggu, apalagi sesama manusia. Pantang larang tidak boleh sembarang
membunuh binatang dapat dicermati pada pamali orang Bajo yang tidak boleh membunuh
babi atau rusa/jonga yang kebetulan turun di laut. Dalam
konsepsi orang Bajo Mbo ma’ Lao memiliki hubungan
yang baik dengan penguasa daratan, sehingga mereka harus bisa menahan diri
untuk tidak membunuh babi, jonga atau
hewan darat lainnya yang turun ke laut. Karena menurut mereka boleh jadi
binatang tersebut merupakan penjelmaan Mbo
ma di dara (penguasa daratan). Pernyataan tersebut, sejalan
dengan hasil kajian Zacot (2008) yang menunjukkan bahwa orang Bajo tidak hanya
mempunyai pamali di laut tetapi juga
memiliki sejumlah pantang larang yang berkaitan dengan kehidupan di darat.
Menurut Zakot pamali-pamali tersebut secara inheren berpengaruh dengan kehidupan
orang Bajo secara menyeluruh.
Dalam perspektif sosiokultural, pantang larang atau pemali merupakan norma
kesusilaan karena di dalam pemali terdapat seperangkat nilai-nilai kemanusiaan universal yang dapat dijadikan pedoman
oleh masyarakat untuk menciptakan tertib dan harmoni sosial. Dalam pandangan Pranowo (1998) pemali atau dalam
antropologi dikenal dengan istilah taboo (Basri, 2010) merupakan tradisi yang menjadi salah satu pandangan hidup di mana dibalik larangan
tersebut terdapat unsur-unsur pendidikan budi pekerti yang dapat membentuk
kepribadiaan anggota masyarakat agar
menjadi pribadi-pribadi yang baik. Pamali yang berlaku
dalam masyarakat Bajo merupakan pengontrol bagi seluruh warga Bajo secara
kolektif agar tidak bertabiat buruk, tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum, tidak melanggar norma-norma etika dan kesusilaan,
dan tidak merusak lingkungan,
menghormati dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan. Dengan demikian konsep pamali
dalam masyarakat Bajo, manivestasi nilai-nilai kemausiaan universal yang
selaras dengan prinsip-prinsip dasar
multikulturalisme.
3. Multikulturalisme
dalam Resolusi Konflik Orang Bajo
Kerukunan merupakan pilar utama yang
mengokohkan bangunan masyarakat Bajo, sehingga segala bentuk pertikaian dan
kesalahpahaman sentiiasa dihindari. Jika dua pihak terjadi kesalah pahaman,
maka pihak ketiga bertindak mendamaikan. Sudah menjadi tradisi orang Bajo bahwa
tetua adat bertanggung jawab penuh dalam mendamaikan suatu perkara. Kalau ada
pertengkaran, orang ketiga dalam hal ini tetua adat akan datang secara terus
menerus untuk menasehati bahwa marah dan hati yang panas adalah pekerjaan
setan. Jika seseorang tidak mampu mengendalikan emosi atau rasa amarahnya, maka
suatu pertanda bahwa orang tersebut sedang dikuasai oleh setan. Dalam
kesempatan itu, pihak ketiga juga menyampaikan kepada salah satu pihak bahwa pihak lainnya merasa sedih dan ingin
berdamai. Demikian seterusnya hingga kedua belah pihak saling berdamai.
Mekanisme kontrol dan
pengendalian sosial masyarakat Bajo yang demikian itu, telah ada sejak lama.
Pengetahuan itu diwarisi dari nenek
moyang mereka secara turun-temurun,
(Basri, 2010). Dalam sejarah kehidupan orang Bajo ada sebuah kisah yang
menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada anak orang Bajo kakak beradik terlibat
pertengakaran. Dalam peristiwa itu, datanglah salah seorang untuk mendamaikan
mereka, dan akhirnya kedua anak itu berdamai dan saling memaafkan. Selain itu,
ada juga kisah seorang laki-laki yang bertengkar dengan mertua laki-lakinya,
kemudian datang salah seorang yang menjadi mediator untuk mendamaikan mereka.
Orang tersebut datang kepada salah satu pihak dengan mengatakan bahwa pihak
lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.
Pada akhirnya perdamaian antara anak menantu dan bapak mertua tersebut
dapat terwujud.
Demikianlah orang Bajo
mewarisi menejemen pengelolaan konflik dari ajaran para leluhurnya untuk
mewujudkan tertib sosial pada internal mereka. Setiap kali memediasi konflik
para tetua adat selalu memahamkan kepada pihak yang bertikai bahwa dulu nenek moyang mereka jika bertikai atau
bersalah paham dengan sesamanya, selalu ada di antara mereka yang berjiwa
besar. Mereka mengungkapkan perasaan bersalah kepada orang lain yang dianggap
dapat menjadi mediator dan menyampaikan kepada salah satu pihak bahwa pihak
lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.
Pada tataran praksis sosial, manajemen dan resolusi konflik ini terbukti mampu menciptakan keharmonisan
dan ketentraman dalam masyarakat Bajo. Semangat
dambarisan (kebersamaan) dan persaudaraan orang Bajo demikian
prominensia, sehingga Zacot (2008)
menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang cinta
damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut. Menurut Zacot (2008) Orang Bajo tidak
menyukai kekejaman. Mereka membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang merendahkan
harga dirinya kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa
percekcokan antara suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat, selebihnya tidak pernah
menyaksikan pertengkaran di antara warga
Bajo.
Mencermati
fragmen-fragmen tradisi lisan orang Bajo seperti yang telah diuraikan di atas, tampaknya dalam tradisi lisan tersebut terdapat nilai-nilai
kemanusiaan universal yang sejalan dengan konsep multikulturalisme sehingga
dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam upaya mewujudkan kehidupan
yang lebih beradab dan humanis dalam bingkai keanekaragaman budaya, suku dan
agama. Budaya hanyalah simbol atau tanda yang dapat memberi petunjuk dalam
berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosial, dalam interaksi dengan alam
dan berinteraksi dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan
pandangan Cassirer (Muliyana, 2008)
bahwa dalam bertindak manusia sering menggunakan simbol, karena dengan
simbol-simbol itu manusia akan berkreasi mengatasi kesulitan hidup dan
ketidaktahuannya. Sehingga Eco (2004) menyebut manusia sebagai homo
interpreticum karena kemampuannya dalam menafsir tanda atau simbol. Menurut Eco (2004)
dunia ini penuh dengan tanda, tugas manusialah menginterpretasikannya sebagai
pedoman dalam mengarungi kehidupan.
Simpulan
Multikulturalisme dalam tradisi lisan orang Bajo
antara lain dapat ditemukan dalam tradisi lisan sebagai berikut.
1. Filsafat etika orang Bajo
yakni tahang diri (tahan diri) dan ngatonang diri (tahu diri). Tahang diri adalah konsep etika
berperilaku orang Bajo bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia orang Bajo harus menahan
diri dari perilaku-perilaku meyimpang. Ngatonang
diri mengandung makna bahwa setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan
kelebihan yang ada pada dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia
biasa yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan Penguasa laut.
2. Tradisi falia (pantang larang) antara lain falia membuat
jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang
pasir di halaman rumahnya dan falia membunuh binatang darat seperti babi, jonga dan binatang darat
lainnya yang turun ke laut.
3. Resolusi konflik Orang Bajo, adalah model penyelesaiaan konflik dengan melalui
sistem arbitrasi yakni biala ada pihak-pihak yang berkonflik, maka harus ada pihak ketiga yang bertindak mendamaikan (mediator).
DAFTAR PUSTAKA
Arman. (2011). Nilai-nilai Tuturan tentang Ewa pada
Masyarakat Muna. (Tesis, tidak diterbitkan, Kendari: UHO
Basri, Ali, Ode, La. (2010),
Pemanfaatan Kearifan Lokal Sebagai Modal
Sosial Budaya Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Etnik Bajo. (Disertasi,
tidak diterbitkan). Denpasar: Udayana.
_______. (2017). Filosofi
Kepemimpinan dalam Cerita Rakyat Kolope Bhala Tumbu pada Masyarakat Muna. Dalam:
Prosiding Seminar Pengembangan Pengetahuan Sastra dan Budaya Sebagai Upaya
Meningkatkan Pengetahuan dan Apresiasi Terhadap Keragaman Budaya Bangsa.
Denpasar 26-27 Mei 2017. Hal.363-370.
Basri, A.,Ode, L, Aso, L, Momo, H.,A, Mudana, Wayan,
I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, & Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture .Asian
Culture and History, 9(1), 33-39.
Eco, Umberto. (2004). Tamasya Dalam Hiperealitas, Jalasutra,
Yogyakarta.
Fay, Brian.
(2006). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.Yogyakarta:
Jendela
Milles, M., B
& Huberman, M., A. (1991). Analisis
data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu
Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Lubis, Yusuf, Akhyar.
(2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern
Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta:
Pustaka Indonesia Satu.
Pranowo,
Bambang. (1998). Islam Faaktual Antara tradisi dan Relasi
Kuasa, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Sedyawati, Edi. (1996). Kumpulan Sambutan (1993-1995) Direktur
Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Edy Sedyawati. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudaayaan.
Zakot, Francois R., .(2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Gramedia
Komentar
Posting Komentar