MULTIKULTURALILSME DALAM TRADISI LISAN ORANG BAJO**


LA ODE ALI BASRI
 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari


Abstrak
Makalah  ini mengulas multikulturalisme yang terkandung dalam tradisi lisan Orang Bajo. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, studi dokumen dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam tradisi lisan orang Bajo adalah sebagai berikut; 1) filsafat etika orang Bajo yakni tahang diri (tahan diri) dan ngatonang diri (tahu diri). Tahang diri adalah konsep etika berperilaku orang Bajo bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia orang Bajo harus menahan diri dari perilaku-perilaku meyimpang. Ngatonang diri mengandung makna bahwa setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia biasa yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan  Penguasa laut; 2) tradisi falia (pantang larang) antara lain falia membuat jengkel tetangga dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya dan falia membunuh binatang darat  seperti babi, jonga dan binatang darat lainnya yang turun ke laut; 3) tradisi resolusi konflik Orang Bajo, berupa model penyelesaiaan konflik melalui sistem arbitrasi yakni bila ada pihak-pihak yang berkonflik,  maka harus ada pihak ketiga yang bertindak mendamaikan (mediator).

Kata Kunci: tradisi lisan, multikulturalisme dan orang Bajo
** Makalah disajikan pada Konggres Internasional Bahasa Daerah Maluku 7-8/9/2017


Pendahuluan
Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi lisan sendiri-sendiri yang menjadi ciri khas sekaligus keunikkan atau karakteristik pada masyarakat tersebut. Keanekaragaman tersebut merupakan potensi sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada masing-masing suku bangsa, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan.
Menurut Basri (2017) sebagai suatu warisan dan tradisi yang lahir dalam suatu kelompok masyarakat, tradisi lisan berfungsi sebagai media informasi tentang sejumlah kesan atau pandangan subjektif kolektif terhadap sesuatu yang penting,dan khas, tentang masyarakat pemilik tradisi tersebut. Sementara Willems (Arman, 2011) menyatakan bahwa tradisi lisan merupakan salah satu cara masyarakat menyampaikan sejarah lisan, kesusasteraan, pandangan dan pengetahuan lain menyeberangi generasi tanpa sistem tulisan.  Tradisi lisan mengandung fakta budaya berupa sistem religi, sistem genealogi, kosmologi dan kosmogoni, sejarah, filsafat, etika, moral, sistem pengetahuan dan kaidah-kaidah kebahasaan dan kesusastraan, (Sedyawati, 1996).
Temuan dari hasil-hasil kajin di atas semakin menegaskan bahwa di dalam tradisi lisan, termasuk tradisi lisan yang terdapat pada masyarakat Bajo mengandung pesan-pesan moral dan perangkat-perangkat etika dan tata susila yang dapat membantu menegakkan harmoni hidup bersama sampai ke masa yang akan datang, dalam bingkai prinsip-prinsip mulltikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kolektif (Fay, 2006). Multikulturalisme kompleksitas tentang gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh seseorang atau sekelompok orang yang majemuk baik dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, tetapi individu atau kelompok individu tersebut  mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat keberagaman dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan keberagaman atau kemajemukkan tersebut (Basri,et al, 2017). Sementara itu, Lubis (2006) menyatakan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Konsep multikulturalisme yang demikian itu, sesungguhnya jauh-jauh hari telah diajarkan oleh leluhur-lehur kita secara oral sebagai mana kita bisa temui dalam berbagai tradisi lisan masyarakat nusantara, termasuk masyarakat Bajo di Sulawesi Tenggara. Orang Bajo di Sulawesi Tenggara memiliki tradisi lisan tentang bagaimana mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan. Selain itu, orang Bajo juga memiliki tradisi lisan yang  mengandung konsep bagaimana menyikapi perbedaan dengan penuh toleran dan semangat egaliter, serta konsepsi tentang tata cara menghargai dan merayakan perbedaan dalam kesederajatan. Untuk itu, tulisan ini berusaha mencoba menggali tradisi lisan orang Bajo yang dipandang memiliki relevansi dengan konsep multikulturalisme, untuk harmonisasi kehidupan umat manusia yang berkelanjutan.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bungin Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Informan dalam penelitian ini adalah para tokoh masyarakat yang terdiri dari tetua adat, tokoh-tokoh pemuda, dan  warga masyarakat lainnya. Para informan tersebut ditentukan secara purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: (1) pengamatan terlibat; yakni terlibat langsung dalam aktivitas para informan yang memiliki relevansi dengan fokus kajian, sekaligus mengamati secara langsung aktivitas masyarakat mereka, (2) melakukan wawancara mendalam kepada informan, khususnya tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda dan warga masyarakat lainnya mengenai gagasan, pengalaman, pengetahuan informan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi lisan orang Bajo, (3) melakukan studi kepustakaan terutama kepustakaan  yang terkait dengan budaya lokal orang Bajo.  
Setelah data-data terkumpul, maka data-data tersebut dinalisis secara deskriptif-kualitatif melalui model Milles dan Huberman (1991) dengan langkah-langkah sebagai berikut;  (1) reduksi data yakni menyusun satuan-satuan seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi terfokus. Data-data tersebut dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat transliterasi dan abstraksi serta menyusun satuan-satuan data; (2) penyajian data yakni melakukan kategorisasi data dan pengelompokkannya secara lebih baik, menyusun hubungan antarkategori, membandingkan kategori data yang satu dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan data tersebut; dan (3) penarikan kesimpulan yakni  memberikan interpretasi dan hubungan antarkategori data yang sudah dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna dan kesimpulannya.

Hasil dan Pembahasan
1. Multikulturalisme dalam Filsafat Etika  Orang Bajo
Orang Bajo memiliki ajaran moral yang sarat dengan muatan-muatan pemikiran multikultural. Ajaran moral tersebut merupakan landasan filsafat etika orang Bajo  yang disebut dengan ajaran empe diri (4 Diri), yakni tahang diri (Tahan Diri), ngatonang diri (Tahu Diri), angga’ diri  (Harga Diri) dan matappa diri (Percaya Diri).  Dari empat ajaran filsafat etika di atas, dua diantaranya merupakan ajaran moral yang mengandung semangat multikulturalisme, yakni tahang diri dan ngatonang diri. Tahang diri (tahan diri) adalah suatu ajaran moral orang Bajo yang mengandung makna bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia orang Bajo harus menahan diri dari perilaku-perilaku meyimpang. Misalnya dalam mencari nafkah, orang Bajo tidak boleh rakus, tidak boleh mengambil hak orang lain, tidak boleh menghalalkan segala cara, apalagi sampai merusak hubungan dengan sesama manusia, dengan lingkungan laut dan dengan Mbo Ma’di Lao (Dewa/penguasa laut).  Laut sebagai tempat mencari nafkah, harus senantiasa dijaga dan dipelihara, karena laut selain sebagai sumber kehidupan yang utama, laut juga merupan masa depan anak cucu mereka.
 Ngatonang diri (tahu diri) mengandung makna bahwa setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia biasa yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan  Penguasa laut.  Karena itu, setiap individu harus memelihara hubungn yang baik dengan sesama, hubungan baik dengan Tuhan dan dengan alam sekitar termasuk semua mahluk yang ada di dalamnya. Sesama umat manusia umumnya, dan sesama  orang Bajo khususnya harus saling menghargai,  saling mempercayai dan saling melindungi.
Pemahaman tentang ngatonang diri  dan tahang diri senantiasa terpatri dalam jiwa-jiwa orang Bajo, yang ditanamkan atau diwariskan secara oral oleh generasi tua kepada generasi  muda Bajo. Dalam pandangan Orang Bajo,  prinsip-prinsip sikap humanis terhadap sesama manusia telah diajarkan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. Prinsip-prinsip tersebut adalah sippa tappa (saling percaya), sikaada (saling menerima keadaan) dan  bahu membahu  atau situlu tulu. Maksudnya, sippa tappa adalah sesama anggota kelompok masyarakat harus saling mempercayai bahwa mereka tidak akan saling membohongi, tidak akan saling mencurigai. Sikaada yakni mereka harus saling  memahami dan menerima keadaan bahwa mereka memiliki perbedaan sifat, memiliki kekurangan dan kelebihan sehingga harus mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Situlu-tulu maksudnya mereka harus bahu membahu, tolong menolong karena mereka senasib dan sepenanggungan yakni mengadu nasib di laut yang penuh dengan tantangan dan risiko, serta mereka telah menjadi satu kesatuan sosial yakni komunitas atau masyarakat Bajo.
Kesadaran orang Bajo tentang kehidupan kolektif, telah mengubah kelakuan individu menjadi kelakuan sosial, sehingga tercipta proses interelasi yang teratur antarindividu  dalam kehidupan kolektif tersebut. Kesadaran ini melahirkan kesalehan sosial, yang terefleksi dari kesadaran kolektif untuk menerapkan prinsip situlu-tulu, sikaada dan sippatappa, serta ajaran filsafat sosial dan etika lainnya yang hingga saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bajo. Pola tingkah laku seperti ini bukan hanya semata-mata sebagai upaya mengejar kebutuhan individu, tetapi juga lebih pada uapaya melanggengkan keberadaan kelompok, sebagai konsekuensi dari persetujuan-persetujuan kontraktual di antara mereka dalam membangun jalinan kerjasama.

2. Multikulturalisme dalam Pamali (Pantang-Larang) Orang Bajo
Salah satu ajaran moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Bajo adalah ajaran pemali membuat jengkel tetangga. Prinsip seperti ini dapat dicermati dalam pandangan orang Bajo bahwa pemali membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya.  Menurut Orang Bajo falsafah di atas mengandung makna “perlunya memelihara keutuhan masyarakat, dan keutuhan masyarakat  itu bergantung kepada adab kesopanan dan ketinggian budi pekerti. Dengan ajaran seperti itu orang Bajo memandang dan memperlakukan tetangganya dengan baik, sebab sudah menjadi kelaziman manusia yang hidup di muka bumi ini saling memerlukan antara satu dengan yang  lainnya. Mereka berpandangan bahwa orang Bajo berkewajiban mengekalkan hubungan baik dengan tetangga demi mewujudkan kehidupan setempat yang aman dan harmoni.
Ungkapan bahwa ”janganlah membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya”, mengisyaratkan bahwa kulit kerang itu kasar, berduri dan tajam. Jika diinjak dapat menyebabkan kaki terluka, atau membuat perasaan tidak nyaman jika diduduki, sedangkan perahu adalah simbol dari jantung kehidupan orang Bajo. Untuk itu orang Bajo tidak boleh saling melukai perasaan, merasa iri dan dengki dengan sesamanya. Orang Bajo mendirikan rumah-rumah panggung di atas permukaan air laut, dengan tiang-tiang ditancapkan ke dalam pasir. Umumnya rumah mereka tidak dilengkapi dengan kamar-kamar atau dipetak dengan dinding-dinding kamar yang memadai. Biasanya hanya kamar keluarga (suami-istri) yang dipetak, selebihnya tidak ubahnya sebuah aula besar. Jika pintunya dibuka akan kelihatan mulai dari ruang depan sampai ke dapur.
Sementara itu, lantai rumah sama tingginya atau setara dengan rangakaian papan yang berfungsi sebagai pekarangan dan jalan yang menghubungkan rumah warga yang satu dengan warga yang lainnya. Hal inilah yang melatari mengapa filsafat etika dan moral orang Bajo mengajarkan agar menjaga perasaan tetangga dengan tidak menaburkan atau menyimpan pasir di pekarangan orang lain. Sebab butir-butir pasir adalah salah satu anasir yang mudah diterbangkan angin  dan jika sampai  masuk ke dalam rumah tentu akan mengotori rumah dan perabotnya sehingga dapat mengganggu kenyamanan penghuni rumah bahkan dapat mengganggu jalannya proses-proses prokreasi dalam rumah tangga.
            Menurut Masyarakat Bajo tetangga  adalah orang yang tinggal paling dekat dengan rumah mereka, dan yang tinggal dalam lingkungan jarak 40 buah rumah daripada rumah mereka. Segala perkara yang berlaku terlebih dulu diketahui oleh tetangga. Karena itu, tetangga  adalah orang paling dekat untuk memohon pertolongan ketika ditimpa musibah seperti kebakaran, kecurian atau kematian. Kekuatan hubungan ketetanggaan yang sempurna dan harmoni mengukuhkan ikatan persaudaraan dan kasih sayang sesama orang Bajo, yang kadangkala melebihi daripada keluarga sendiri.
Untuk itu, sikap yang harus ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan bertetangga adalah tiap-tiap individu mengamalkan dan menghayati sikap berlapang dada, mengargai perbedaan pandangan, saling memahami, meningkatkan kesabaran, bertukar pendapat, mencari titik persamaan dan mengeratkan hubungan yang renggang dengan penuh hikmah serta kasih-sayang. Dalam konsepsi orang Bajo impian mempunyai tetangga yang baik tidak akan terlaksana jika kita belum menjadi tetangga yang baik terlebih dulu.  Dengan adab kesopanan dan keluhuran budi pekerti ini menjadikan seseorang itu dihormati dan harmoni dalam masyarakat pun dapat terjamin.
Masyarakat Bajo merupakan salah satu masyarakat yang senantiasa hidup tentram dan damai di laut. Tidak ada sengketa dan permusuhan sesama mereka. Menurut orang Bajo binatang saja ada yang tidak boleh dibunuh atau diganggu, apalagi sesama manusia. Pantang larang tidak boleh sembarang  membunuh binatang dapat dicermati pada pamali orang Bajo yang tidak boleh membunuh babi atau rusa/jonga yang kebetulan turun di laut.  Dalam  konsepsi orang Bajo  Mbo ma’  Lao memiliki hubungan yang baik dengan penguasa daratan, sehingga mereka harus bisa menahan diri untuk tidak membunuh babi,  jonga atau hewan darat lainnya yang turun ke laut. Karena menurut mereka boleh jadi binatang tersebut merupakan penjelmaan Mbo ma di dara (penguasa daratan).  Pernyataan tersebut, sejalan dengan hasil kajian Zacot (2008) yang menunjukkan bahwa orang Bajo tidak hanya mempunyai pamali di laut tetapi juga memiliki sejumlah pantang larang yang berkaitan dengan kehidupan di darat. Menurut Zakot pamali-pamali tersebut  secara inheren berpengaruh dengan kehidupan orang Bajo secara menyeluruh.
Dalam perspektif sosiokultural, pantang larang atau pemali merupakan norma kesusilaan karena di dalam pemali terdapat seperangkat nilai-nilai kemanusiaan universal yang dapat dijadikan pedoman oleh masyarakat untuk menciptakan tertib dan harmoni sosial. Dalam pandangan Pranowo (1998) pemali atau dalam antropologi dikenal dengan istilah taboo (Basri, 2010)  merupakan tradisi yang menjadi salah satu pandangan hidup di mana dibalik larangan tersebut terdapat unsur-unsur pendidikan budi pekerti yang dapat membentuk kepribadiaan anggota masyarakat agar  menjadi pribadi-pribadi yang baik. Pamali yang berlaku dalam masyarakat Bajo merupakan pengontrol bagi seluruh warga Bajo secara kolektif agar tidak bertabiat buruk, tidak melakukan perbuatan yang  melawan hukum, tidak melanggar norma-norma etika dan kesusilaan, dan tidak merusak lingkungan, menghormati dan mengagungkan perbedaan  dalam kesederajatan. Dengan demikian konsep pamali dalam masyarakat Bajo, manivestasi nilai-nilai kemausiaan universal yang selaras dengan prinsip-prinsip dasar  multikulturalisme.  

3. Multikulturalisme dalam Resolusi Konflik Orang Bajo
Kerukunan merupakan pilar utama yang mengokohkan bangunan masyarakat Bajo, sehingga segala bentuk pertikaian dan kesalahpahaman sentiiasa dihindari. Jika dua pihak terjadi kesalah pahaman, maka pihak ketiga bertindak mendamaikan. Sudah menjadi tradisi orang Bajo bahwa tetua adat bertanggung jawab penuh dalam mendamaikan suatu perkara. Kalau ada pertengkaran, orang ketiga dalam hal ini tetua adat akan datang secara terus menerus untuk menasehati bahwa marah dan hati yang panas adalah pekerjaan setan. Jika seseorang tidak mampu mengendalikan emosi atau rasa amarahnya, maka suatu pertanda bahwa orang tersebut sedang dikuasai oleh setan. Dalam kesempatan itu, pihak ketiga juga menyampaikan kepada salah satu pihak  bahwa pihak lainnya merasa sedih dan ingin berdamai. Demikian seterusnya hingga kedua belah pihak saling berdamai.
            Mekanisme kontrol dan pengendalian sosial masyarakat Bajo yang demikian itu, telah ada sejak lama. Pengetahuan itu  diwarisi dari nenek moyang mereka secara turun-temurun, (Basri, 2010). Dalam sejarah kehidupan orang Bajo ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada anak orang Bajo kakak beradik terlibat pertengakaran. Dalam peristiwa itu, datanglah salah seorang untuk mendamaikan mereka, dan akhirnya kedua anak itu berdamai dan saling memaafkan. Selain itu, ada juga kisah seorang laki-laki yang bertengkar dengan mertua laki-lakinya, kemudian datang salah seorang yang menjadi mediator untuk mendamaikan mereka. Orang tersebut datang kepada salah satu pihak dengan mengatakan bahwa pihak lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.  Pada akhirnya perdamaian antara anak menantu dan bapak mertua tersebut dapat terwujud.  
            Demikianlah orang Bajo mewarisi menejemen pengelolaan konflik dari ajaran para leluhurnya untuk mewujudkan tertib sosial pada internal mereka. Setiap kali memediasi konflik para tetua adat selalu memahamkan kepada pihak yang bertikai bahwa  dulu nenek moyang mereka jika bertikai atau bersalah paham dengan sesamanya, selalu ada di antara mereka yang berjiwa besar. Mereka mengungkapkan perasaan bersalah kepada orang lain yang dianggap dapat menjadi mediator dan menyampaikan kepada salah satu pihak bahwa pihak lainnya merasa sedih dan ingin berdamai.  Pada tataran praksis sosial, manajemen dan resolusi konflik ini terbukti mampu menciptakan keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat Bajo.       Semangat dambarisan (kebersamaan)  dan persaudaraan orang Bajo demikian prominensia, sehingga Zacot (2008) menyebut masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang cinta damai, masyarakat yang tidak suka bersungut-sungut.  Menurut Zacot (2008) Orang Bajo  tidak menyukai kekejaman. Mereka membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang merendahkan harga dirinya kalau naik pitam secara terang-terangan. Selain beberapa percekcokan antara suami dan istri yang mudah didengar melalui dinding penyekat, selebihnya tidak pernah menyaksikan pertengkaran di antara warga Bajo.  
Mencermati fragmen-fragmen tradisi lisan orang Bajo seperti yang telah diuraikan di atas, tampaknya dalam tradisi lisan tersebut terdapat nilai-nilai kemanusiaan universal yang sejalan dengan konsep multikulturalisme sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih beradab dan humanis dalam bingkai keanekaragaman budaya, suku dan agama. Budaya hanyalah simbol atau tanda yang dapat memberi petunjuk dalam berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosial, dalam interaksi dengan alam dan berinteraksi dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan pandangan Cassirer  (Muliyana, 2008) bahwa dalam bertindak manusia sering menggunakan simbol, karena dengan simbol-simbol itu manusia akan berkreasi mengatasi kesulitan hidup dan ketidaktahuannya. Sehingga Eco (2004) menyebut manusia sebagai homo interpreticum karena kemampuannya dalam menafsir tanda atau simbol. Menurut Eco (2004) dunia ini penuh dengan tanda, tugas manusialah menginterpretasikannya sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan.

Simpulan
          Multikulturalisme dalam tradisi lisan orang Bajo antara lain dapat ditemukan dalam tradisi lisan sebagai berikut.
1. Filsafat etika orang Bajo yakni tahang diri (tahan diri) dan ngatonang diri (tahu diri). Tahang diri adalah konsep etika berperilaku orang Bajo bahwa dalam menjalani kehidupan di dunia orang Bajo harus menahan diri dari perilaku-perilaku meyimpang. Ngatonang diri mengandung makna bahwa setiap individu harus menyadari segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Orang Bajo pada prinsipnya adalah manusia biasa yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain dan bantuan  Penguasa laut.
2. Tradisi falia (pantang larang) antara lain falia membuat jengkel tetanggamu dengan membuang kulit kerang dalam perahunya dan membuang pasir di halaman rumahnya dan falia membunuh binatang darat  seperti babi, jonga dan binatang darat lainnya yang turun ke laut.
3. Resolusi konflik Orang Bajo, adalah  model penyelesaiaan konflik dengan melalui sistem arbitrasi yakni biala ada pihak-pihak yang berkonflik,  maka harus ada pihak ketiga yang bertindak mendamaikan (mediator).



DAFTAR PUSTAKA


Arman. (2011). Nilai-nilai Tuturan tentang Ewa pada Masyarakat Muna. (Tesis, tidak diterbitkan, Kendari: UHO
Basri, Ali, Ode, La. (2010), Pemanfaatan Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Budaya Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Etnik Bajo. (Disertasi, tidak diterbitkan). Denpasar: Udayana.
_______. (2017). Filosofi Kepemimpinan dalam Cerita Rakyat Kolope Bhala Tumbu pada Masyarakat Muna. Dalam: Prosiding Seminar Pengembangan Pengetahuan Sastra dan Budaya Sebagai Upaya Meningkatkan Pengetahuan dan Apresiasi Terhadap Keragaman Budaya Bangsa. Denpasar 26-27 Mei 2017. Hal.363-370.
Basri, A.,Ode, L, Aso, L, Momo, H.,A, Mudana, Wayan, I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, & Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture .Asian Culture and History, 9(1), 33-39.
Eco, Umberto. (2004). Tamasya Dalam Hiperealitas, Jalasutra, Yogyakarta.
Fay, Brian. (2006). Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer.Yogyakarta: Jendela
Milles, M., B & Huberman, M., A. (1991). Analisis data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Lubis, Yusuf, Akhyar. (2006). Dekonstruksi Epistemologi Modern Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Pranowo, Bambang. (1998). Islam Faaktual Antara tradisi dan Relasi Kuasa, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Sedyawati, Edi. (1996). Kumpulan Sambutan (1993-1995) Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Edy Sedyawati. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudaayaan.
Zakot, Francois R., .(2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta: Gramedia         






Komentar

Postingan populer dari blog ini

KETIDAK BERTAHANAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT MUNA

MULTICULTURALISM IN THE LOCAL WISDOM OF BAJO TRIBE

NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUDAYA TRADISIONAL ETNIK MUNA