NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUDAYA TRADISIONAL ETNIK MUNA


 NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM BUDAYA TRADISIONAL ETNIK MUNA

La Ode Ali Basri1, Abdul Halim Momo 2,  Salniwati 3

1 Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo Kendari.
2 Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitaas Halu Oleo Kendari.
3 Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari.
E-mail: laodeali.basri@yahoo.co.id


Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis unsur-unsur pendidikan multikultural dalam budaya tradisional etnik Muna di Sulawesi Tenggara, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Informan pokok dalam penelitian ini adalah para maestro pelestari tradisi, tokoh adat, tokoh masyarakat  dan dan tokoh pemuda. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terlibat,  wawancara mendalam dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam budaya tradisional etnik Muna terdapat nilai-nilai pendidikan multikultural yakni menghargai jasa dan hasil karya orang lain, hidup berdampingan secara damai, menyadari hakikat individu sebagai mahluk yang lemah, menganjurkan untuk memiliki budi pekerti luhur, mengakui dan menghargai hak orang lain, memiliki etos kerja yang tinggi dan nilai-nilai netralitas gender. Nilai-nilai pendidikan multikultural tersebut melekat dalam tradisi pemali (tabo),  ungkapan tradisional, cerita rakyat, dan teka-teki tradisional.


This study aimed todescribe analyze the elements of multicultural education in the traditional culture of ethnic Muna in Southeast Sulawesi, by employing a qualitative descriptive method. Key sources of informants in this study is the maestro conservationist tradition, figure of culture, social and youth. Data collected techniques participant observation, in-depth interviews and focus group discussions. Data analysis of reduction, data presentation and conclusion. Results showed that in the traditional culture of ethnic Muna are the values ​​of multicultural education that appreciate the service and the work of others, peaceful coexistence, recognizing the nature of the individual as being weak, suggested to have a noble character, recognize and respect the rights of others , has a high work ethic and values ​​of gender neutrality. Values ​​of multicultural education are deeply embedded in the tradition pemali (tabo), traditional expressions, folklore and traditional puzzles.

Keywords: traditional culture, multicultural education.


1. Pendahuluan        
Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya tradisional dan kearifan lokal sendiri yang menjadi ciri khas sekaligus keunikkan atau karakteristik masyarakat tersebut. Di tengah krisis nilai-nilai budaya modern dewasa ini, budaya tradisional tengah menjadi bahan kajian berbagai kalangan, karena diyakini bahwa di dalam budaya tradisional tersebut terdapat sejumlah kearifan lokal, yang dapat menjadi solusi atas krisis kebudayaan modern (Herman, 2016). Salah satu bentuk kearifan lokal  dalam budaya tradisional antara lain berupa ajaran-ajaran leluhur tentang nilai-nilai pendidikan multikultural yang bersumber dari pengalaman hidup dan hasil interaksi masyarakat lokal dengan alam sekitar mereka (Mungmachon, 2012).
Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia untuk menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, dan aliran agama ( Naim, at al, 2008). Sementara Mahfud (2009) berpendapat, bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman budaya, atau pendidikan yang ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah tuhan). Kemudian kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Begitu pula dengan Banks (2007) mendefenisikan pendidikan multikultural sebagai suatu kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat untuk mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Sejalan dengan itu, Bennet (2003) menyatakan bahwa dasar berpikir pendidikan multikultur adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik yang beragam dapat menentukan sendiri budaya asing yang ingin mereka miliki sesuai dengan pandangan mereka terhadap kelompoknya, sehingga mereka dapat menyesuaikan dengan budaya-budaya lainnya, tanpa melakukan pengurangan atau menghilagkan budayanya sendiri.
Kajian tentang nilai-nilai pendidikan multikulrural yang berbasis budaya telah dilakukan beberapa peneliti, seperti Convertino (2016), bahwa pendidikan multikultural memungkinkan terjadinya dialog dan saling berbagai pengetahuan. Yeh, at al (2005) melakukan kajian pada pemuda imigran Korea. Hasilnya menunjukkan bahwa para pemuda Korea menggunakan norma dan nilai-nilai budaya Korea untuk mengatasi perubahan identitas dan akulturasi kebudayaan, utamanya dengan budaya Amerika. Sementara itu, Chen (2015) melakukan kajian terhadap orang Aborijin di Taiwan, hasilnya menunjukkan  bahwa pengalaman bersosialisasi dengan anggota kelompok Aborigin lain dan belajar tentang budaya suku tradisional menciptakan identitas etnis yang lebih positif. Selain itu, melalui pertunjukan internasional, mereka mendapatkan kepercayaan diri dan perspektif yang beragam. Hasil kajian Clark, at al (2002) menunjukkan bahwa pendidikan multikultural dapat menjembatani kesenjangan sosial ekonomi siswa dalam mengakses digital, membentuk kepekaan siswa terhadap lingkungannya dan siswa dapat saling bekerjasama walaupun dengan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. 
Dalam konteks keIndonesiaan, kajian tentang pendidikan multikultural anatara lain dilakukan oleh Yusri (2008) yang memusatkan kajiannya pada pendidikan multikultural dalam agama di Indonesia. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa prinsip pendidikan multikultural dalam kehidupan beragama telah ada sejak zaman pra Indonesia. Hal itu antara lain tersurat dalam Sasanti 'Bhinneka Tunggal Ika' yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitabnya Sutasoma di sekitar tahun 1384-1385 dan sasanti 'Kalih Sameka' (kalih sama + ika) yang yang ditulis di dalam kitabnya Arjuna Wijaya pada tahun1379, yang menunjukkan bahwa pada zaman Majapahit kerukunan umat beragama dan kehidupan multikultural sudah tampak berlangsung harmoni. Kajian lain juga dilakukan oleh Garna (1999) terhadap orang Baduy, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang Baduy memiliki perangkat pengawasan sosial yang disebut pikukuh,  yakni seperangkat aturan yang mengatur pola hidup manusia dalam hubungannya dengan sesama, Tuhan dan lingkungan. Sementara hasil kajian Ganap (2012) tentang multikultural dan etnistas pribumi, menunjukkan bahwa tradisi lisan yang melekat pada setiap etnis pribumi mengandung nilai-nilai multikultural.
Nilai nilai pendidikan multikultural pada tataran budaya masyarakat Sulawesi Tenggara juga telah ada beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Tarimana (1989). Dalam kajiannya pada etnik Tolaki, Tarimana (1989) menyatakan bahwa masyarakat etnik Tolaki memiliki lima lingkaran adat yang mejadi pokok-pokok pedoman dan pandangan hidup mereka, yang salah satu diantaranya adalah adat persatuan dan kesatuan atau kekeluargaaan yang disebut sara mbedulu. Sedangan kajian pada  budaya tradisional  etnik  Muna yang juga merupakan objek kajian penelitian ini pernah dilakukan oleh Taena, at al (2016).  Hasil kajian Taena, at al (2016) menunjukkan bahwa pada etnik Muna memiliki seperangkat aturan dalam menghargai, memelihara dan melestarikan hutan, yang disebut falia. Namun demikian, ajaran-ajaran yang luhur etnik Muna tentang menghargai dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan tidak hanya dapat dijumpai dalam pandangan filosofi berupa pantang larang (falia),akan tetapi hal tersebut dapat pula ditemukan dalam  ungkapan-ungkapan tradisional, dalam folklore, teka teki, nyanyian rakyat dan ritual-ritual lainnya.

2. Metode Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Indonesia yang dilaksanakan selama enam bulan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas (1) pengamatan terlibat pada kegitan ritual yang mengandung unsur pendidikan multikultural, (2) melakukan wawancara mendalam kepada para maestro dan pelestrari tradisi, (3) melakukan diskusi terfokus, kepada tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh-tokoh adat dan anggota masyarakat lainnya.
Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, melalui langkah-langkah sebagai berikut: (a) reduksi data, yakni menyusun satuan-satuan seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi kelompok terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat abstraksi dan menyusun satuan-satuan data, (b) display yakni penyajian data melalui proses kategorisasi dan pengelompokkan data sesuai unit analisis sehingga data bisa menjadi lebih baik,  menyusun hubungan antar kategori, membandingkan kategori data yang satu dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan data tersebut, (c) penarikan kesimpulan berdasarkan hasil interpretasi data yang ditunjang oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten.
           Agar kerja penelitian berlangsung sesuai rencana, penelitian ini menggunakan beberapa sarana teknis penelitian berupa kartu-kartu data, dan pedoman wawancara, serta kamera foto atau kamera video untuk merekam hasil pengamatan serta alat perekam untuk merekam hasil wawancara.

3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Budaya Falia (Pemali) Etnik Muna
1. Menghargai  Jasa dan Hasil Karya Orang Lain
Salah satu kearifan lokal etnik Muna yang mengandung nilai pendidikan multikultral adalah tradisi falia (pemali).  Nilai pendidikan multikultural yang dapat ditemui pada ajaran pemali dalam etnik Muna adalah anjuran  agar manusia belajar menghargai jasa dan hasil karya orang lain. Sesama manusia harus saling menghormati hasil usaha, ciptaan, dan hasil pemikiran. Menghargai hasil karya dan jasa-jasa orang lain merupakan salah satu upaya membina keserasian dan kerukunan hidup antar manusia agar terwujud kehidupan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai sesuai dengan harkat dan derajat seseorang sebagai manusia. Konsepsi seperti ini dapat ditemukan dalam konsep pemali pada etnik Muna yakni “ofalia detongka kahitela atawa dotobhe ane  minaho natumandakie parikano rampano mina nakoinawaane kahitela be pae (pemali memanen jagung  atau menuai padi jika belum didahului oleh parika (dukun tani).  Parika adalah orang yang telah berjasa dalam menyemaikan benih dan memulai penanaman (jagung/padi) sehingga pada saat panen senantiasa didahulukan dalam memulai aktivitas panen. Kebiasaan mendahulukan parika  sangat kuat melekat dalam budaya perladangan masyarakat Muna.
Selain itu, pemali lain yang mengajarkan agar menghargai hasil karya dan jasa orang lain dapat dicermati pada larangan meninggalkan rumah, jika makanan atau minuman telah dihidangkan. “Ofalia doere dokala ane kaalahino nefumaa atawa okaforoghu nentaa-ntamoa, rampano notikini ane lalo (pemali beranjak meninggalkan rumah saat makanan atau minuman sudah dihidangkan karena membuat hati jadi sedih/ada suatu perasaan yang kurang enak”). Penyuguhan  makanan atau minuman adalah bentuk kebaikan dan pemuliaan kepada kita, sehingga selayaknya kita menghargai kebaikan itu dengan mencicipi hidangan dimaksud.  Bila pergi meninggalkan rumah tanpa mencicipi hidangan yang telah disediakan itu, bisa mengakibatkan kekecewaan pada pihak yang telah menyuguhkan makanan.
Nilai kultural kedua falia”pemali” tersebut adalah mengapresiasi dan menghargai kebaikan orang lain. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menghargai dan menghormati hasil karya orang lain, dapat menciptakan harmoni sosial, sehingga kehidupanbermasyarakat  akan berjalan dengan tenteram dan damai karena setiap orang akan menyadari pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai tersebut. Selain itu, menumbuhkan sikap menghargai hasil karya dan jasa orang lain merupakan sikap yang terpuji karena merupakan pencerminan pribadi penciptanya sebagai manusia yang ingin dihargai.
Ajaran simbolik yang mengandung makna menghargai tugas dan peran masing-masing juga dapat ditemui pada falia  dengkora ne kandulua, noko kawio ane koro (pemali duduk di bantal, nanti tumbuh bisul di pantat). Pantangan ini selain memberikan pesan moral untuk hidup sederhana dan menempatkan segala sesuatu sesuai proporsinya, juga mengandung ajaran moral untuk menghargai perbedaan tugas dan peran masing-masing. Bila bantal diduduki kemudian robek, maka saat dijahit mesti butuh uang untuk membeli jarum dan benang. Selain itu, idealnya bantal menjadi alas kepala bukan alas pantat.


2.  Menghargai Hak Milik Orang Lain
Dalam budaya pemali etnik Muna juga ditemukan  etika tentang kepemilikan harta benda. Hal itu dapat dijumpai pada ”falia depake/deala hakunaasi rampano nobinasaane mbhada dhunia ahera“ (pemali memakai/mengambil hak naas karena membinasakan badan dunia akhirat). Istilah haku naasi ‘hak naas’ dalam kalimat falia”pemali”di atas merupakan simbol yang bermakna ‘hak orang lain’ baik menyangkut harta bergerak maupun tak bergerak.  Mengambil atau memakai haku naasi ‘hak naas’ sangat ditabukan dalam masyarakat Muna .Jika pemali tersebut dilanggar mengakibatkan kebinasaan pada yang melanggarnya didunia dan akhirat, artinya pelakunya tidak akan selamat baik di dunai maupun di akhirat.  Dengan demikian falia”pemali”ini memberikan petunjuk kepada kita untuk menghargai kepemilikkan orang lain, tidak menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan yang inginkan, termasuk tujuan mengumpulkan harta.

3.  Etos Kerja Tinggi
“….ofalia dempolodo-lodo samintaeno, mina dakoradhakiane(sesuatu yang tabu bila tidur-tiduran diwaktu pagi karena orang yang selalu tidur-tiduran diwaktu pagi  akan kekurangan rezeki). Tidur-tiduran pada pagi hari merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh orang Muna, karena perilaku tersebut merupakan ciri dari orang-orang yang malas, acuh tak acuh dalam hidup, tidak kreatif dan cenderung pasif. Kehidupan orang yang memiliki kebiasaan seperti ini tidak akan maju, statis karena dia senatiasa dilingkupi oleh perasaan malas, sedih dan apatis, mudah dihinggapi oleh rasa dengki dan iri hati. Petuah tersebut mengandung semangat kerja keras dan tanggung jawab. Konsepsi kerja keras tersebut, merupakan cerminan motivasi hidup sukses yang tinggi merupakan jalan menuju perubahan hidup yang lebih baik. Perubahan ditentukan oleh adanya individu-individu yang memiliki motivasi untuk sukses, karena individu-individu yang demikian akan bekerja lebih keras, belajar lebih cepat dan mereka akan merasakan ada kepuasan batin tersendiri kalau berhasil menyelesaikan pekerjaanya dengan sempurna.
Dalam perspektif sosiokultural, pemali merupakan norma kesusilaan karena di dalam pemali terdapat seperangkat nilai-nilai kemanusiaan universal yang dijadikan pedoman oleh masyarakat untuk menciptakan tertib dan harmoni sosial. Dalam pandangan Pranowo (1998), Taena, at al (2013) pemali atau dalam antropologi dikenal dengan istilah taboo (Basri, 2010)  merupakan tradisi pantang larang yang menjadi salah satu pandangan dan pegangan hidup suatu masyarakat yang mana dibalik larangan tersebut terdapat unsur-unsur pendidikan budi pekerti yang dapat membentuk kepribadiaan anggota masyarakat agar  menjadi pribadi-pribadi yang baik. Dengan demikian pemali merupakan pengontrol bagi seseorang (self control) dan bagi masyarakat secara kolektif (social control) agar tidak bertabiat buruk, tidak melakukan perbuatan yang  melawan hukum baik hukum adat maupun hukum agama, tidak melanggar norma-norma etika dan kesusilaan, dan tidak merusak alam (Laepe, 2006)

3.2. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Cerita Rakyat
1. Legenda Kabhawono  Kamonsope  bhe  Kabhawono  Sabha  Mpolulu (Gunung Kamosope dan Sabha Mpolulu)
:…..Pada  amaitu  nofekirimi We lalono,  inodi  ini  o moghane,  anoa o robhine  tungguno  kabhawono  Kamonsope.    Ambanoa  amosurue  amalae  labhihaku.   Nopogaumu  tora  tungguno kabhawono  Kamonsope  kaasi,  ambanoa  aembali  robhine  ini  akiido  omosuru  kanau.    Nofetingke  wambano  nagha  kansuru  noamara  tungguno  kabhawono  Sabha  Mpoluku. Noalamo  sinapano  maka  notemba  tungguno  kabhawono  Kamonsope.   Bhabhaano  notembae  miina  nakumantibhae.    Nefohala  tungguno  kabhawono  Kamonsope.    Nofeendua  notembae  miina  narumato  bhatuno.  Pada  amaitu  nobholosimo  dua  tungguno  kabhawono  Kamonsope.  Sepaku  notembae,,  nokantibhae  nopoweta  peda  kasabhano polulu.   Katikonahanomo  kabhawo  Sabha  Mpolulu…
Terjemahan:  ……Sabha Mpolulu mengatakan, “saya ini laki-laki, kamu  (Kamosope) perempuan,  saya akan memaksamu untuk mengambil airmu. Penungguh gunung Kampsope menjawab, “kasian walaupun saya jadi perempuan jangan paksa saya…   Tetapi Sabha Mpolulu tetap memaksa sampai  terjadi pertempuran diantara keduanya yang berakhir pada kekalahan Sabha mpolulu….
Petikan ceerita di atas menunjukkan bahwa Sabha Mpolulu ingin melakukan dominasi terhadap Kamosope. Namun Kamosope menyadari bahwa dirinya sedang disubordinasi oleh Sabha Mpolulu, sehingga Kamosope melakukan perlawan terhadap ketidakadilan gender tersebut. Meminjam pemikiran Pranowo (2007) bahwa apa yang dilakukan oleh Sabha Mpolulu adalah   suatu upaya dominasi patriarki yang berusaha agar  perempuan  menjadi  manusia yang pasrah pada budaya patriarki. Sedangkan apa yang dilakukan oleh Kamosope adalah bentuk perlawanan perempuan untuk terbebas dari bayang-bayang laki-laki, menghapus kesan minor dan sikap lemah yang dicitrakan pada perempuan. Dari cerita ini, dapat ditarik suatu benang merah, bahwa konsep emansipasi dan kesetaraan gender pada masyarakat Muna telah ada dalam waktu yang sudah sangat lama. Cerita ini juga mengirim pesan pendidikan multikultur mengenai perlunya menghargai dan mengakui hak-hak orang lain, utamanya memuliakan perempuan dan netralitas gender (Basri, 2016).

2. Cerita Rakyat tentang  dahu mogharo” (Anjing Lapar)
….” Nando dahu nogharo, maka mina nakoghoti, dadihanomo nokola nekapihi nefumaano. Neghawa kaawu kafumaano netou toumo nobhasi bhaihino, norato kaawu bhaihino dofumaemo do bhari bharihaane. Gara dahu merakono kafuma maitu minaho naowehi, nokalamo tora nomoisa nekapihi kafumaano, neghawa kaawu kafumaano minamo namoratoda bhaihinoa nofumaemo nomisahaane. Welo wuntano nofuma gara bukuno kafumaano maitu notikai wewunghuno mina namooli noalie tano matehighoomo…” .
 Dalam cerita ini mengisahkan perjalanan hidup seekor anjing pemburu yang sukses menangkap mangsannya, kemudian menggonggong memanggil temannya untuk memakan hasil tangkapannya secara bersama-sama. Namun anjing pemburu tersebut, tidak puas karena tidak kenyang, sehingga anjing itu terus melanjutkan perburuannya. Namun setelah menemukan buruannya yang baru ia makan sendiri, tidak lagi berbagi dengan sesamanya, sampai akhirnya anjing pemburu itu mati karena adanya tulang yang tersangkut di dalam lehernya. Cerita ini menginspirasi untuk terus meraih satu kesuksesan menuju kesuksesan berikutnya, tanpa harus menyakiti, melupakan orang lain dan bahkan kesuksesan itu harus bisa dinikmati oleh orang banyak dan tidak boleh serakah.

3.3. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam  Ungkapan Tradisional
1. Budi Pekerti Luhur
1. Mahingga omangka te towuno harimau, ani sonidhalangimu sala metaa, maka sadhia osalamati
     “Biarpun engkau berjalan di atas punggung harimau, asal engkau menjalankan kebenaran, maka keselamatan tetap bersamamu”
2.  Doposabhangka bhe mie mbolakuno dombolaku dua, doposabhangka bhe mie potarono dopotaro dua
     “Bila berteman dengan pencuri, kita akan mencuri juga, berteman dengan penjudi kita akan berjudi juga”
3.   Soano mie moghanea ane mie tumalono kaewano, tabea mie moghane mie tumalono nafusuuno
      “Bukan pemberani/jagoan kalau dia baru mengalahkan lawannya, tetapi yang dikatakan jago/pemberani adalah orang yang telah dapat mengalahkan hawa nafsunya”
4.   poangka-angka tao-popia-piara, poma masigho (tidak gontok-gontokkan, saling asuh, asah, asih, sayang menyangi), poadha-adhati (menghargai orang lain sesuai ukuran adat-istiadatnya), bhini-bhini kuli (cubit diri sendiri).
5. Hansu-hansuru bhada kono hansuru liwu, hansu-hansuru liwu kono hansuru adhati, hansu-hansuru adhati kono hansuru agama (biarlah badan/jiwa hancur, asal tidak hancur daerah, biarlah daerah hancur asal adat istiadat terpelihara/tidak hancur, dan biaralah adat istiadat hancur asal agama tidak hancur).

3.4. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural Dalam Teka Teki  Tradisional
1. Menyadari eksistensi Diri Sebagai Mahluk yang tidak Sempurna
Teka teki tradisional etnis Muna juga mengandung nilai nilai pendidikan multikultural, terutama menjelaskan tentang eksistensi manusia sebagai mahluk yang tidak sempurna sehingga ia butuh bantuan orang lain. Hal itu antara lain dapat ditemukan pada teka teki …”watawataangke,  wutomu owurae , opobisaraamua miina…” (Teka-teki:  kamu melihat dirimu, tapi tidak saling berbicara.) Jawaban teka-teki tersebut adalah bayangan.
Kata ‘wutomu owura’ disimbolkan sebagai ‘manusia yang melihat bayangannya sendiri di depan cermin’. Sedangkan kata, opobisaraamua miina adalah simbol dari  manusia dan bayangannya yang ada di dalam cermin yang tidak dapat saling berkomunikasi’. Jadi, makna dari teka-teki ini adalah manusia harus memahami jati dirinya yang memiliki keterbatasan kemampuan (potensi) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Sepadan dengan teka teki di atas, teka teki lain yang menjelaskan keterbatasan seseorang adalah teka teki ..” katondono mie bhaimu owurae, katondo wutomu miina omorae…(pagar orang lain kamu lihat, pagarmu sendiri kamu tidak lihat) . Jawaban teka teki tersebut adalah gigi. Kata ‘katondonopada teka teki di atas mengandung arti simbol dari letak atau susunan gigi kita  yang berjejer seperti pagar, namun tidak bisa kita lihat secara langsung. Makna dari teka-teki ini adalah sindiran bagi manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keterbatasan potensi. Mata manusia memilki keterbatasan melihat sesuatu, bahkan melihat gigi yang ada pada diri sendiri pun tidak bisa.
Selain itu, ada pula teka teki tradisional yang meberi petunjuk perlunya menghargai orang lain adalah “watawataangke, o ghondo mie bhaimu owurae, oghondo wutomu miina omorae” (teka-teki: orang lain kamu bisa lihat, dirimu sendiri kamu tidak bisa lihat).  Jawaban teka teki tersebut adalah mata. Kata ‘ghondo’ dan ‘wura’ adalah simbol dari funsi ‘bunsolo’ (mata). Makna teka-teki ini adalah sindiran untuk manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memilki keterbatasan potensi, khususnya pada alat inderanya, yaitu mata.

2. Saling Menghargai dan Hidup Berdampingan Secara Damai
Dalam watawatangke (teka-teki) tradisonal etnik Muna juga mengandung pesan simbolik  untuk hidup berdampingan secara damai. Pesan itu antara lain dapat ditemukan dalam “watawataangke: katokano dopokakopu,  dapowura miina”( teka-teki: meski berpelukan, tapi tidak saling melihat. Jawaban teka teki di atas adalah tiang rumah. Kata ‘dapowura miina’  adalah kontadiksi ideal dari orang yang berpelukan dalam hal ini adalah kisan untuk tiang yang melekat satu sama lain. Watawatangke ini menunjukkan symbol hubungan sosial dalam masyarakat Muna yang terus dipelihara karena antara manusia satu dengan lainnya tidak saling mengetahui isi hati dan kesamaan kepribadian.
Watawatangke lain yang memberi pesan simbolik agar sesama manusia harus hidup saling menghargai adalah “watawataangke: desumbele karambau miina damata, desumbele tomi dopata”. (Teka-teki: menyembeli kerbau tidak cukup, menyembelih burung pipit cukup).  Jawaban teka-teki tersebut adalah lampu tembok. Makna dari teka-teki ini adalah kualitas sesuatu apakah benda atau lainnya tidak ditentukan oleh ukuran besar-kecilnya. Yang menjadi penentu adalah sisi kemanfaatannya. Kantale ngkora kecil yang dilambangkan dengan ‘desumbele tomi’ diakui oleh masyarakat etnis Muna mampu memberikan penerangan yang lebih menyeluruh di saat gelap gulita,  (Salniwati, 2014).
Mencermati fragmen-fragmen budaya tradisional masyarakat Muna seperti yang telah diuraikan diatas, tampaknya terdapat nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan dengan konsep pendidikan multikultural dan dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih beradab dan humanis dalam bingkai keanekaragaman budaya, suku dan agama. Budaya hanyalah simbol atau tanda yang dapat memberi petunjuk dalam berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan sosial, dalam interaksi dengan alam dan berinteraksi dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan pandangan Cassirer (1990) bahwa dalam bertindak manusia sering menggunakan simbol, karena dengan simbol-simbol itu manusia akan berkreasi mengatasi kesulitan hidup dan ketidaktahuannya. Sehingga Eco (2004) menyebut manusia sebagai homo interpreticum karena kemampuannya dalam menafsir tanda atau simbol. Menurut Eco (2004) dunia ini penuh dengan tanda, tugas manusialah menginterpretasikannya sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupan. Sehubungan dengan itu, maka menemu kenali nilai nilai pendidikan multikultural dalam budaya tradisional masyarakat Muna adalah kristalisasi pemaknaan atas simbol budaya sebagai perekat kebersamaan.


4. Simpulan
          Dari urian di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam budaya tradisional etnik Muna yang berupa pemali (tabo), ungkapan tradisional, cerita rakyat, dan teka-teki tradisional  terdapat nilai nilai pendidikan multikultural. Nilai-nilai tersebut adalah menghargai jasa dan hasil karya orang lain, hidup berdampingan secara damai, menyadari hakikat individu sebagai mahluk yang lemah, menganjurkan untuk memiliki budi pekerti luhur, mengakui dan menghargai hak orang lain, memiliki etos kerja yang tinggi dan nilai-nilai kesetraan gender. Hal ini meunjukkan bahwa etnis Muna memiliki falsafah moral tersendiri sesuai dengan mentalitas dan karakterisitik masyarakatnya yang mereka akui dan sepakati bersama. Falsafah moral tentang multikulturalisme ini menjadi perekat kebersamaan dan memberi arah dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan umat manusia yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, James A. (2007). Educating citizens in a multicultural society. New York: Teachers College Columbia University.

Basri, Ali, Ode,La. (2010), Pemanfaatan Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Budaya Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Etnik Bajo. Disertasi. Udayana: Denpasar.

______, (2016). Starategi Pelestarian Budaya Lokal Muna. Laporan Penelitian. Kendari:  Universitas Halu Oleo.

Bennett, C.I. (2003). Comprehensive multicultural education: Theory and practice. Boston: Pearson Education, Inc.

Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan:Sebuah Esei tentang Manusia. alih bahasa:  Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.

Clark, C., & Gorski, P. (2002). Multicultural education and the digital divide: Focus on socioeconomic class background. Multicultural Perspectives, 4(3), 25-36.

 Chen, Meei, S. (2015).  Dancing with Ethnic Identities: An Aboriginal Dance Club in a Taiwanese Middle School. International Journal of Multicultural Education, 17 (2), 20-34.

 Convertino, C. (2016).  Beyond Ethnic Tidbits: Toward a Critical and Dialogical Model in Multicultural Social Justice Teacher Preparation. International Journal of Multicultural Education, 18 (2), 125-141.

Eco, Umberto. (2004), Tamasya Dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Fakih, Mansour. (2000), Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pengelolaan Ideologi di Dunia LSM Indonesi., Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ganap, Victor. (2012). Konsep Multikultural dan Etnisitas Pribumi dalam Penelitian Seni. Humaniora, 24 (2), 156-167

Garna, K. Judistira. (1999). Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung:    Primaco Akademika.

Herman, K.D.R. (2016). Traditional knowledge in a time of crisis: climate change, culture and communication. Sustainability Science, 11 (1), 163-176.

Laepe, Ader. (2006), Analisis Semiotik Atas Lirik Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Mahfud, Choirul. (2009). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mungmachon, R.M. (2012). Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, 2 (13), 174-181.

Naim, Ngainun, dan Sauqi, A.(2010). Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Mbete,  Meko, Aron. (2006). Kazanah Budaya Lio-Ende. Yogyakarta: Pustaka Larasan.

Pranowo, Bambang. (1998). Islam Faktual Antara tradisi dan Relasi Kuasa. Yogyakarta:  Adicita Karya Nusa.

Pranowo, Yogie. (2013). Identitas Perempuan Dalam Budaya Patriarkis: Sebuah Kajian Tentang Feminisme Eksistensialis Nawal El Sa’adawi Dalam Novel Perempuan Di Tititk Nol. Melintas An International Journal of Philosophy and Religion, 29 (1), 56-78

Salniwati. (2014). Watawatangke: Tradisi Lisan Etnis Muna. Tesis. Kendari: Universitas Halu Oleo.

Tarimana, Rauf, A. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.

Taena, La., Sailan, Z., Nalefo, La., Basri, A., Ode, La., Laepe, A., Samsul, Hermina, Siti., Miliha, La., & Kuasa, Wa. (2016). The Cultural Tradition of “Falia” in Preserving  Porest by Munanese Ethnic. Journal of Sustainable Development, 9 (2), 200-206


Taena, La., Basri, Ali, Ode, La., & Laepe, A. (2013). Dimensi Pedagogik Dalam Makana Budaya Tradisi Falia Pada Masyarakat Muna. Jurnal Mudra Seni Budaya, 29 (1), 91-100.

Yeh, J,C., Ma, wen, Pie., Bahel, M.A., Hunter, D.C., Jung, Sunna., Kim, B. Angela., Akitaya,Kiyoko., dan Sasaki, Kiyoko            . (2005). The Cultrural Negotiations of Korean Immigrant Youth. Jounal of Counseling & Development, 83 (2), 172-182.

Yusri, Muhammad. 2008. Prinsip Pendidikan Multikulturalisme Dalam Ajaran Agama-Agama Di Indonesia. Kependidikan Islam, 3(2), 1-22.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

KETIDAK BERTAHANAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT MUNA

MULTICULTURALISM IN THE LOCAL WISDOM OF BAJO TRIBE