FILOSOFI KEPEMIMPINAN DALAM CERITA RAKYAT KOLOPE BHALA TUMBU (UBI HUTAN) PADA MASYARAKAT MUNA

FILOSOFI KEPEMIMPINAN DALAM CERITA RAKYAT
KOLOPE BHALA TUMBU (UBI HUTAN) PADA MASYARAKAT MUNA

LA ODE ALI BASRI
 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo Kendari
E-mail: basri.uho74@gmail.com


Abstrak
Makalah  ini mengulas filosofi kepemimpinan yang terkandung dalam cerita rakyat Muna yang berjudul Kolope Bhala Tumbu. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, studi dokumen dan diskusi terfokus. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada zaman dahulu terjadi musyawarah pemilihan pemimpin di kalangan tumbuhan, khususnya dari jenis tanaman yang menjadi bahan makanan umat manusia. Dalam musyawarah tersebut, salah satu jenis tumbuhan yang bernama Kolope Bhla Tumbu sangat berambisi untuk menjadi pemimpin, sehingga Kolope Bhla Tumbu sangat aktif menyosialisasikan dirinya kepada tumbuhan lain untuk mendapatkan simptik dan dukungan suara. Kolope Bhala Tumbu berpandangan bahwa pemimpin harus  ditakuti oleh bawahannya. Sosok yang demikian hanya ada pada dirinya, karena diantara semua jenis tumbuhan dirinyalah yang paling besar buahnya, jengotnya panjang dan tebal, batangnya berduri, dan berdaun lebar.  Pandangan itu ditolak oleh seluruh peserta musyawarah. Tumbuhan lain menyatakan bahwa pemimpin bukan ditakuti tetapi disegani. Pemimpin dibatasi otoritasnya oleh etika dan kepatuhan moral yang memberinya mandat kekuasaan. Untuk menjadi pemimpinharus memiliki excellent personal. Untuk itu, pemimpin  tidak boleh berpikiran sempit, hatinya harus bersih dan lurus, tidak suka memuji diri sendiri. Pemimpin harus baik ahlak dan budi pekertinya, hubungannya dengan sesama juga baik, tidak suka menggurui dan tidak berambisi, tidak boleh tinggi hati, sombong, angkuh, serta harus menyangi dan menghormati sesama. Berdasarkan kriteria tersebut, maka tumbuhan  peserta musyawarah memutuskan untuk memberikan mandat kepemimpinan kepada padi, karena padi dipandang berhati lurus dan memiliki kepribadian yang baik yakni semakin berisi semakin menunduk.

Kata Kunci: tradisi lisan, reinterpretasi cerita rakyat, dan filosofi kepemimpinan

Makalah disajikan pada seminar nasional Sastara dan Budaya Bali, 26-27 Mei 2017








Pendahuluan
            Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra  khususnya sastra daerah  yang berupa cerita  dalam bentuk mite, legenda atau dongeng yang lahir,  hidup dan berkembang pada  suatu masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada masa lampau cerita rakyat diwariskan kepada generasi berikutnya melalui tuturan lisan, namun saat ini cerita rakyat sudah banyak dikisahkan melalui tulisan dalam bentuk buku cerita, komik, film animasi dan media-media lainnya.  Menurut Hutomo  (1991) cerita  rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi suatu masyarakat tentang aspek-aspek sosial budayanya  melalui bahasa tutur. Sehingga Sediawati
 (2014) dan  Basri, et al (2017) mengatakan bahwa mengenal cerita rakyat  berarti mengenal sejarah  dan sosial budaya suatu masyarakat, karena di dalam  cerita rakyat terekam  tentang sistem pewarisan nilai, sejarah dan ciri-ciri kehidupan sosial budaya masyarakat yang baersangkutan. 
            Menurut Ampera, et al (2006) cerita rakyat merupakan bagian dari tradisi lisan yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka, tetapi sebagai media informasi tentang sejumlah kesan atau pandangan subjektif kolektif terhadap sesuatu yang penting, khas atau mendesak untuk diwujudkan dalam suatu karya.  Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai pengisi waktu senggang serta penyalur perasaan bagi penutur dan pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan angan-angan kelompok. Sementara  itu Nurlela dan Harijanty (2011) menyatakan bahwa  cerita rakyat mengandung ajaran  dan ungkapan moralitas  dan edukasi. Selain itu, cerita rakyat juga bisa menjadi alat pengesahan pranata, dan pemeliharaan norma  baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial kemasyarakatan (Nurana, 1991).
            Temuan dari hasil-hasil kajin di atas semakin menegaskan bahwa di dalam cerita rakyat, termasuk cerita Kolope Bhala Tumbu (Ubi Hutan) pada masyarakat Muna  yang mengisahkan tentang suksesi kepemimpinan dalam habitat tumbuhan, khususnya tumbuhan yang menjadi bahan makan umat manusia,  terdapat pesan-pesan moral yang dapat dikaji dan dianalisis untuk selanjutnya dijadikan sebagai sumber inspirasi, bahkan dapat menjadi rujukkan dan peganggan dalam kepemimpinan ummat manusia di zaman modern ini.

Metodologi
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Informan dalam penelitian ini adalah para maestro, tetua adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan warga masyarakat lainnya yang ditentukan secara purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: (1) pengamatan terlibat, (2) wawancara mendalam kepada tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda utamanya kepada para pelestari tradisi, dan warga dan warga masyarakat lainnya  mengenai gagasan, pengalaman, pengetahuan informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan cerita rakyat, (3) melakukan studi dokumen tertama dokumen  yang terkait dengan kebudayaan masyarakat Muna.  Analisis data dilakukan  melalui model Milles dan Huberman (1991) yakni secara deskriptif-kualitatif,  melalui langkah-langkah sebagai berikut;  (1) reduksi data yakni menyusun satuan-satuan seluruh data yang terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi kepustakaan dan diskusi kelompok terfokus dibagi satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya, kemudian dilakukan reduksi data guna mengeliminir data yang kurang relevan, membuat abstraksi dan menyusun satuan-satuan data; (2) penyajian data yakni melakukan kategorisasi data dan pengelompokkanya secara lebih baik, menyusun hubungan antarkategori, membandingkan kategori data yang satu dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan interpretasi makna-makna setiap hubungan data tersebut; dan (3) penarikan kesimpulan yakni  memberikan interpretasi dan hubungan antarkategori data yang sudah dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna dan kesimpulannya. Agar kerja penelitian berlangsung sesuai rencana, penelitian ini menggunakan beberapa sarana teknis penelitian, yaitu kartu-kartu data, dan pedoman wawancara,  tustel (kamera foto) atau kamera video.

Pembahasan
Pokok Cerita Rakyat Kolope Bhala Tumbu
Naando  dhamani wawono sabhara hulano ghoti nefumaando manusia miina bhe kaseise. Tangkanomo ntighomo kaawu dopogira-gira. Nepohala-halatighondo ini, lahae so mantasino so nesangke, so membalino neangkado bhari-bharie ghoti nefumaa. Maanano, so membalino kolakino ghoti, so nefongkora te fotu ane dakofaraluu atawa dakokasukara manusia. …eee,dowule kaawu dopogera-gera nagha pasina  dopo owi-owilimo kosibhari-bharihando ghoti nefumaa,  daefonando rompuha dae sangke lahae so membalino kolakino ghoti. Noratokaawu rompuha doghonumo bhari-bharie nefumaa: o kahitela, o mafu sau, o lamedawa o tonea, o ghofa, o pae, o kolope, o kalei, o kapea, tangkanomo bhari-bharie ghoti nefumaa. Ampamo kaawu o kolope ntigho molai-laino wutono nobhala mpuu lalonoa dasumangkee naembali kolakino ghoti. Nopohala be pe,  o pae mina  bhe diu, anoa engkora we tompano ghubhe.
Dowolo kaawu doghonu, dopofefeenamo bhara lahae so mantasino soneangkado ghoti nefumaini. Nopogaumo kolope : ‘Ingka pe naohali namisiku daeghondohi. Ane inodi tadaghumondomo laha-lahae kaawu so mewarehino roo, sobhalahino ihi, so kokiri-kirino, so kodhangku-dhangkuno, aituemo so nesangke. Maanano, aitua natibharaki, natimotehi.’ Maka o kolope ini anoa newarehi roonoa, laanoa nokokiri-kiri, nokodhangku-dhangku, ihino welo wite pakade bhe kabhalahi.
Dobhalomo dua sigaahano : ‘Aitu mina amandehaane bhaindo, maka ane inodimo semie, suano o mbhadha, suano o fewutoi so neghondono.  Naokesa kaawu mbadhano, parewano, natumaratumpu maka fewutoino, ane pe naokesa podiuno, pe naokesa feilino, sapasina aitu, ane pe naewanta fekirino, nakumalolu-lolu, tao kakapudhiamo kaawu so neghodhino, inga pe nakoghuluha dasumangkee so neangkado ghoti. Dadihanomo so nesangke aitu, tabeano so metaano feili, sometaano podiu, so mewantano fekiri. Pe naembalia nakumaampa-ampa, nakumadhoro-dhoro, pe naembalia naelangke lalonoa. Naoasi bhe bhaino, nakokatulumi. Medano anagha beano ane inodi, so nesangke so neangkantoomu bhari-bharie kaetaamu inia.’
Notamba dua sigaahano : ‘Inodimo semie, aasianemo nagha peda nepogaughoo aitu. Maanano, suano o ghulua, ofewutoia so neghondo. Tabea o podiu, ofeili, lalo metaa, lalo moasi. Dadihanomo, ane inodi, dasumangkemo o pae maitu so neangkantoomu oghoti nefumaa ini. Uumbemo, ane daghumondo fewutoino, o pae inia nonale laanoa. Maka, ane fekirino, feilino, nofaraluu damangkafie. Nihompu nohende kabharino ihino anoa, nihompu notubhari noungko ne bhaino. Sapasino aitu, ingka taintaidimu dua itu lahae so mantasino.’

 Terjemahan: Pada zaman dahulu sering terjadi pertengkaran sesama jenis tumbuhan, khususnya tumbuhan yang menjadi bahan makanan umat manusia. Pertengkaran itu dipicu oleh ketidak sepahaman mereka tentang siapa yang  berhak menjadi pemimpin atau tokoh mereka karena masing-masing tumbuhan menganggap dirinya layak memegang tampuk kepemimpinan. Setelah mengalami pertengkaran dan konflik yang berkepanjangan, tumbuh-tumbuhan itu berdamai dan bersepakat untuk melakukan musyawarah dalam rangka memilih ketua mereka, secara adil, jujur, terbuka dan bermartabat. Pada waktu musyawarah digelar semua jenis tumbuhan berkumpul seperti jagung, padi, ubi kayu, ubi jalar, ubi hutan, keladi, pisang, pepaya dan lain lain. Namun sebelum musyawarah dilaksanakan ada salah satu jenis tumbuhan yang selalu mengampanyekan dirinya untuk menjadi pemimpin seluruh jenis tumbuhan. Tumbuhanan tersebut adalah Kolope Bhala Tumbu (ubi hutan), namun tumbuhan lain tidak menggubris godaan ubi hutan.
 Ketika musyawarah mulai dilaksanakan, tumbuh-tumbuhan tersebut saling memberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan tentang siapa diantara mereka yang layak diangkat sebagai pemimpin. Pada kesempatan itu, ubi hutan meminta untuk menjadi pembicara pertama dan kesempatan itu pun diberikan kepadanya. Menurut ubi hutan tumbuhan yang layak diangkat menjadi pemimpin harus memiliki kriteria seperti daunya lebar, batangnya berduri, buahnya besar, berjenggot panjang, dengan begitu maka dia akan ditakutii. Pendapat ubi hutan tersebut ditanggapi oleh  tumbuhan  yang lain dengan mengatakan bahwa bentuk fisik/keadaan tubuh bukan ukuran utama dalam memilih pemimpin. Biarpun fisiknya bagus tetapi perilakunya jelek, pikirannya sempit, hatinya kotor, suka memuji diri sendiri, tidak bisa dijadikan pemimpin. Karena itu yang harus diangkat sebagai pemimpin adalah yang baik budi pekertinya, ahlaknya bagus, hubungannya dengan sesama juga baik, tidak suka menggurui dan tidak berambisi, tidak tinggi hati, sombong, angkuh, menyangi dan menghormati sesama. Pendapat itu diamini oleh semua peserta yang hadir. Akhirnya mereka mencari sosok tumbuhan yang cocok dengan kriteria tersebut. Pilihan mereka pun jatuh pada padi, karena padi dipandang berhati lurus, dan semakin berisi semakin menunduk.

 Cerita diatas mengisahkan tentang suksesi kepemimpinan di kalangan tumbuhan yang dilaksanakan melalui musyawarah mufakat. Namun sebelum pelaksanaan suksesi tersebut, tumbuh-tumbuhan dilanda konflik (pertengkaran) yang berkepanjangan.  Situasi yang terjadi dalam dunia tumbuhan tersebut, juga merefleksikan situasi yang terjadi dalam masyarakat manusia baik pada masa lampau maupun pada masa kini.  Tomas Hobes (Sabine, 1992) menyatakan bahwa pada masa lalu masyarakat manusia diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Keadaan waktu itu disebut dengan bellum omnium contra omnes (semua lawan semua).  Mereka yang memiliki fisik yang kuatlah yang menguasai manusia lain atau kelompok manusia lainnya. Manusia saling memangsa satu sama lain atau biasa dikenal dengan istilah homo homini lupus (manusia saling memakan sesama). Menurut Nur (2015) keadaan seperti ini juga dijelaskan dalam La Galigo bahwa  masyarakat Bugis sebelum munculnya To Manurung sebagai tokoh pemersatu, pernah mengalami kondisi sosial yang disebut siandre bale’ taue’ (saling memangsa seperti ikan).
Situasi sosial politik yang tidak stabil akhirnya melahirkan kesadaran kolektif melalui sebuah kontrak politik untuk mengangkat pemimpin yang capable yang dapat menjaga mereka dari kondisi yang kacau balau dan mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Fenomena seperti ini juga ditemui dalam cerita Kolope Bhala Tumbu, bahwa setelah mengalami pogera-gera (konflik)  yang berkepanjangan akhirnya tumbuh-tumbuhan berdamai dan melakukan kontrak politik untuk menggelar suksesi kepemimpinan yang adil, jujur dan terbuka melalui rompuha (musyawarah mufakat). Tumbuh-tumbuhan berpandangan bahwa pemilihan kolaki (pemimpin) dengan cara rompuha (musyawarah mufakat) dipandang lebih demokratis karena dapat menghindarkan mereka dari silang pendapat, konflik dan yang paling utama semangat kekeluargaan tetap terjaga. Alhasil dalam cerita ini dikisahkan bahwa berdasarkan hasil kesepakatan bersama dalam rompuha, padi ditetapkan secara aklamasi sebagai  kolaki (pemimpin) tumbuhan.
Suksesi kepemimpinan sebagaimana dikisahkan dalam cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu mengandung pesan moral kepada umat manusia agar dalam setiap pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan musyawarah mufakat bukan atas dasar paksaan atau hegemoni. Tumbuhan lain menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada padi dilakukan secara sukarela, sehingga semangat kebersamaan dan harmonisasi di kalangan tumbuhan pasca suksesi kepemimpinan tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak seperti hiruk pikuk suksesi kepemimpinan dikalangan umat manusia saat ini yang penuh dengan trik dan intrik politik, sehingga baik sebelum maupun setelah suksesi kepemimpinan nuansa segementasi masyarakat/pendukung dalam kelompok-kelompok kepentingan tampak begitu mencolok. 
Dalam perspektif teoretis, suksesi kepemimpian dalam cerita Kolope Bhala Tumbu menguatkan tesis Kuntowijoyo (2002) bahwa berpolitik harus berdasarkan kesadaran, bukan berdasarkan paksaan karena paksaan adalah cara yang tidak berbudaya. Mengikuti pemikiran Gramsci (Barker, 2006) suksesi kepemimpinan dalam cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu berlangsung tanpa ada hegemoni baik hegemoni kultural maupun hegemoni ideologi. Sehingga tidak ada pihak pihak yang menjalankan otoritas sosial dan kuasa kepemimpinan kepada pihak lain yang tersubordinasi. Dalam terminologi lain suksesi kepemimpinan dalam cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu mencerminkan gaya kepemimpinan humanis-demokratis (Turi, 2007).
Cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu juga mengisahkan bahwa padi dinobatkan sebagai kolakino ghoti (pimpinan tumbuhan/makanan) karena padi dipandang memiliki kepribadian yang baik, yakni semakin berisi semakin menunduk. Kalangan tumbuhan berpandangan bahwa pemimpin harus disegani bukan ditakuti. Untuk menjadi pemimpin yang disegani  maka harus memiliki budi pekerti yang baik, bisa bekerjasama dengan sesama, tidak suka menggurui, tidak tinggi hati, tidak sombong, tidak angkuh, menyangi dan menghormati sesama. Selain itu, pemimpin tidak boleh berpikiran sempit,  tidak boleh mengharap selalu ingin dipuji dan suka memuji diri sendiri. Kriteria pemimpin dalam cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu juga menguatkan kepemimpinan modern bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang disegani (Prihandono, 2003). Menurut Wita (2006) pemimpin yang disegani antara lain memiliki kepribadian yang menekankan pada nilai kesederhanaan, kebersamaan, suka bergaul dengan orang lain, menghindari profesionalisme tiruan, berani menghadapi kegagalan. Wahjono (2005) menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki sifat adil, manis dan lemah lembut, tegas, sumber kehidupan bagi semua makhluk, tanggap, ulet, berwawasan luas, dan berani.

Kesimpulan
            Cerita rakyat Kolope Bhala Tumbu mengandung filosofi kepemimpinan  humanis-demokratis. Hal ini  terlihat dalam suksesi kepemimpinan yang berlangsung secara adil, jujur, terbuka dan sukarela melalui musyawarah mufakat. Dalam musyawarah, secara aklamasi padi dinobatkan sebagai pemimpin tumbuhan karena dipandang memiliki kepribadian yang baik, memiliki kapaisitas dan kapabilitas yang mumpuni. Cerita ini juga menegaskan bahwa mandat kekuasaan pemimpin dibatasi otoritasnya oleh etika dan kepatuhan moral. Cerita ini dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi manusia modern agar menjadi pemimpin yang disegani.
Daftar Pustaka
Ampera, T, Muhtadin, T, Hudayat, Yusuf, A. (2006). Kepemimpinan Leluhur Sumedang Dalam Tradisi Lisan: Deskripsi dan Interpretasi. Laporan Hasil Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad.
Barker, Chirs. (2006). Cultural Studies,Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Basri, A.,Ode, L, Aso, L, Momo, H.,A, Mudana, Wayan, I, Taena, L, Salniwati, Janu, L, & Aswati. (2017). The Valuas of Multicultural Education in Munanese Traditional Culture .Asian Culture and History, 9(1), 33-39.
Hutomo, Suripan, Sadi. (1991). Cerita Kentrung: Seni Pertunjukan di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kuntowijoyo. (2002).Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas: Esei-esei Budaya dan Politik. Bandung: Mizan.
Milles, M., B & Huberman, M., A. (1991). Analisis data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Nur, Rifai. (2015). Mencandra Pemimpin Indonesia dalam Budaya Lokal. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sejarah dan Budaya , Kamis, 23 Juli 2015, Kampus UHO..
Nurana. (1991). Tatakrama di Lingkungan Keluarga dalam Cerita Rakyat. Jakarta: Depdikbud
Nurlaela & Harijaty. (2011). Kajian Moralitas dalam Cerita Rakyat Buton: Lakina Jaya, Bungaeda, dan Laontolu. Jurnal Humanika, 3(2), 1-11.
Prihandono, Doni. (2003). On Becoming Effective Leader. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sabine, G., H. (1992). Teori-Teori Politik. Bandung: Binacipta.
.
Sediawati, Edi. (2014). Kebudayaan di Nusantara. Depok: Komunitas Bambu.
Wahjono, Parwatri. (2005). Ungkapan-ungkapan dalam Ajaran Jawa: Kearifan dalam Berdemokrasi. Dalam: Demokrasi dalam Budaya Lokal. Penyunting: Mulyana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wita, Wayan, I. (2006). Pemimpin dan Memimpin Bali. Makalah disajikan dalam Seminar Model Kepemimpinan Bali, Rabu, 13 September 2006, Kampus Unud.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KETIDAK BERTAHANAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT MUNA

MULTICULTURALISM IN THE LOCAL WISDOM OF BAJO TRIBE

NILAI NILAI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM BUDAYA TRADISIONAL ETNIK MUNA